REVIEW MENJELANG UAS SEMINAR PERSPEKTIF DAN TEORI MEDIA

December 10, 2019

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

December 2, 2019

Topik: Teori Media dan Efek

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 3 Desember 2019)

 

Sumber Bacaan:

  1. Martin Barker & Julian Petley (eds.) Ill Effects: the Media / Violence Debate (2 nd ed.), London & New York: Routledge, 2001
  2. Daniel Dayan & Elihu Katz, Media Events: The Live Broadcasting of History, Cambridge: Harvard University Press, 1992
  3. Elizabeth M. Perse, Media Effects and Society, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2008

 

Bicara tentang efek media pada audiens, sudah ada banyak literature yang membahas ini, namun dari banyak literature yang ada itu terbagi dalam dua kategori besar: yang demikian percaya akan efek yang dihasilkan oleh media lewat pesan yang disampaikan (baik secara tertulis, lewat gambar / foto, ataupun film), sementara itu ada kategori lain yang tak percaya bahwa efek media sedemikian besar, karena percaya ada factor-faktor yang akan mempengaruhi situasi audiens untuk merespon pesan dalam bentuk efek tertentu.

Dari tiga literature yang diberikan minggu ini, kita pun akan melihat perbedaan atas dua kategori besar akan efek media pada audiens tersebut. Martin Barker dan Julian Petley (2001) menegaskan bahwa mereka berdua tak percaya akan isu soal efek media – khususnya media dengan konten yang mengandung kekerasan – karena menurut mereka bahwa banyak penelitian yang salah mengajukan pertanyaannya, namun penelitian ini tetap mengklaim bahwa efek soal konten kekerasan itu besar. Lebih lanjut keduanya mengatakan “tidak ada yang disebut sebagai ‘kekerasan’ dalam media yang bisa menghasilkan efek yang baik ataupun jelek” (p. 1-2)

Menurut Barker dan Petley, salah satu masalah dalam melihat masalah efek ini adalah tidak ada kelompok atau orang yang mengaku menikmati konten yang dihujat-hujat oleh para pengampanye moral. Dan keduanya juga mempertanyakan, apa tanda dari seseorang yang mengalami efek dari kekerasan dalam media tersebut? (p.7)

Penelitian soal efek media dari konten kekerasan ini juga banyak yang problematic. Barker dan Petley mengutip penelitian Annette Hill yang menunjukkan bahwa dalam hal mengonsumsi media dengan konten kekerasan, ternyata tak ada pembedaan antara lelaki atau perempuan dilihat dari respon mereka setelah menonton film Quentin Tarantino, Pulp Fiction (p.7).

Elizabeth M. Perse dalam bukunya (2008) membahas tentang efek media secara lebih luas. Perse menulis bahwa salah satu focus utama dari studi komunikasi massa adalah pada efek social, kultural dan psikologis dari isi media dan konsumsi media. Walaupun Daniel Berelson sejak tahun 1959 menyebutkan bahwa studi soal efek akan meredup, namun nyatanya hingga 6 dekade sesudahnya, studi soal efek masih terus berjalan dan berkembang (p.1).

Perse juga membahas masalah efek media ini dari berbagai aspek, dan berbagai aspek ini menampilkan gambaran soal efek yang bereda-beda, misalnya dengan mengutip studi yang dilakukan oleh McGuire (1986): apa saja efek yang dihasilkan media massa, dari sisi efek yang diinginkan: dampak iklan terhadap pembelian barang, efek dari kampanye politik terhadap perilaku memilih, efek dari iklan layanan masyarakat terhadap perilaku masyarakat dan kemajuan yang ditunjukkannya, efek dari propaganda politik, dan efek dari ritual media terhadap fungsi control social media (P.1).

Masih dengan mengutip McGuire, Perse, juga menyebutkan soal adanya efek media yang tidak disengaja: efek kekerasan yang ada dalam konten media dan perilaku agresif, dampak dari imaji media terkait dengan konstruksi realitas, efek media pada bias stereotyping, efek dari materi erotic dan sensual pada perilaku, serta bagaimana media berpengaruh pada aktivitas kognitif dan gaya individu (p.2).

Perse juga mengemukakan sejumlah asumsi yang melatari efek media, mulai dari pendapat Harold Lasswell (1927) yang mengatakan bahwa komunikasi massa bisa menjadi dasar bagi individu untuk melihat dunia, dan komunikasi massa juga bisa menjadi alat untuk melakukan manipulasi dan control social. Asumsi lain juga meyakini bahwa perusahaan media mendapatkan keuntungannya dengan cara menjanjikan bahwa mereka adalah alat yang efektif untuk meyakinkan audiens untuk membeli produk, sementara itu para politisi sangat yakin akan efektivitas media untuk mendukung mereka dalam pemilihan umum dan meraih dukungan agar tujuannya tercapai (p.3-4).

Perse juga menunjukkan lewat perhitungan matematis sejumlah ilmuwan terkait dengan kekuatan dampak media, maka dapat disimpulkan bahwa walaupun dampak media itu signifikan, tetapi dampak itu tidak sangat substansial (p.7), dan dengan begitu Perse juga menunjukan dimana hal yang problematis menginterpretasi bukti dari efek media. Perse pun menunjukkan sejumlah argument mengapa efek media tidak sekuat yang dibayangkan orang sebelumnya. Hal ini terkait dengan sejumlah hal seperti:

  • Desain penelitian umumnya melihat efek media terjadi secara linier
  • Efek media tidak terlihat sangat substansial karena di dalamnya terjadi sejumlah proses yang saling berkonflik
  • Efek media tidak terlihat sangat substansial karena ada aspek lain dalam hidup manusia yang punya pengaruh lebih kuat kepada manusia.
  • Juga dikatakan, bahwa dampak media seringkali menjadi kurang karena ada banyak pesan yang diabaikan oleh mereka yang justru harusnya akan lebih terdampak oleh pesan tersebut. Riset terkait dengan eksposure (terpaaan) secara selektif telah mencatat bahwa banyak orang mencari pesan yang mengonfirmasi kepercayaan ataupun perasaan dan menghindari yang sebaliknya. (Perse mengutip Cotton 1985).

Hal terakhir ini mengingatkan kita di Indonesia akan fenomena hoax yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, dan mereka yang terpapar dengan hoax adalah mereka yang menyeleksi fakta mana yang hendak mereka konsumsi dan kepercayaan lebih menjadi dasar penyeleksian fakta ketimbang pertimbangan rasional (p.10-14).

Perse juga mencatat bahwa ada sejumlah sarjana yang mengambil sikap kritis terhadap pendekatan media efek ini. Salah satunya misalnya Todd Gitlin (1978) yang menyebut bahwa paradigm utama yang melakukan penelitian studi efek media ini adalah dari kalangan behavioralisme, yang mendikte para sarjana lain untuk memperhatikan efek media dalam definisi yang sangat sempit. Gitlin juga mengatakan bahwa penelitian jenis ini lebih bersifat penelitian administrative, dimana data yang dihasilkan nantinya akan menjadi data yang berguna untuk kepentingan pemasaran ataupun para pembuat kebijakan, sehingga mereka bisa memprediksi dampak dari kampanye media (Perse 2008: 14-17).

Namun begitu studi atas efek media tetap penting untuk dilakukan, karena sejumlah hal ini:

  • Komunikasi massa menjadi kekuatan ekonomi yang penting di Amerika
  • Komunikasi massa juga menjadi kekuatan politik yang penting sebagai penjaga dari para pembuat kebijakan
  • Komunikasi massa atau media massa juga menjadi sumber hiburan utama

Di luar tetap pentingnya mempelajari efek media, ada dua alasan mengapa studi soal efek media tetap dipertahankan:

  1. Alasan pertama adalah alasan teoritis, dimana para sarjana tetap percaya ada efek media yang terjadi, tapi kita tidak tahu seberapa besar dampaknya, dan kita juga tidak tahu factor-faktor apa yang membuat berbagai dampak itu terjadi. Oleh karena itu mempelajari efek media harus diteruskan untuk menambah pengetahuan kita
  2. Alasan kedua, adalah alasan praktek dan berorientasi pada kebijakan. Jika kita bisa mengelaborasi kondisi dan pemahaman kita atas berbagai bentuk efek media – bagaimana efek media muncul – kita bisa memanfaatkan pengetahuan tersebut. Dalam level praktis, pemahaman atas proses efek media akan memungkinkan praktisi media untuk menciptakan pesan yang efektif untuk mencapai tujuan politik, periklanan, ataupun kampanye tertentu. Sementara itu untuk pihak pemerintah, hal ini akan berguna untuk dapat mengemas pesan yang prososial dan pada akhirnya menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.

Perse juga melakukan pembagian atas dimensi dari efek media sebagai cara untuk melakukan konseptualisasi efek media:

  • Dimensi Cognitive-afektif-behaviroal
  • Level Mikro vs Level Makro
  • Efek disengaja atau tidak disengaja
  • Content dependent vs content irrelevant
  • Jangka pendek vs jangka panjang

 

Literature ketiga dari Dayan dan Katz (1992) membahas tentang media event atau apa yang disebut sebagai “the festive viewing of television” yang ditelevisikan dimana peristiwa itu terjadi dan disebarkan sehingga ditonton oleh seluruh anggota masyarakat. Media events juga sering disebut sebagai “television ceremonies”, atau “festive television”, atau “cultural performances”. Atau secara konseptual yang hendak dipaparkan dalam buku Dayan dan Katz ini adalah untuk membawa antropologi dari seremoni untuk melihat proses komunikasi (p.1).

Media events ini memiliki sejumlah dampak juga, terhadap sejumlah pihak, seperti:

  1. Efek pada organisasi
  2. Efek pada jurnalis dan organisasi penyiaran
  3. Efek pada penonton
  4. Efek terhadap opini public
  5. Efek terhadap institusi politik
  6. Efek terhadap diplomasi
  7. Efek terhadap keluarga
  8. Efek terhadap waktu luang
  9. Efek terhadap agama
  10. Efek pada seremoni public
  11. Efek pada memori kolektif

 

Pertanyaan penelitian:

*) bagaimana efek perubahan menjadi media digital yang dirasakan oleh audiens pembaca Kompas dan Tempo: apakah mereka menyukai perubahan tersebut atau memilih bentuk yang sebelumnya?

 

 

 

 

 

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 28, 2019

Topik: “Teori Modernitas dan Postmodernitas”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 26 November 2019)

 

Sumber Bacaan:

  1. Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology Press, 1994 (seventh printing 1998)
  2. Jim McGuigan, Modernity and Postmodern Culture, Berkshire: Open University Press, 2006

 

Marshall McLuhan adalah salah seorang teoritisi media awal yang telah menuliskan pandangan-pandangannya antara tahun 1960-1970an. Ia dikenal dengan buku-bukunya seperti Guttenberg Galaxy, Understanding Media: Extensions of Man, Medium is the Message. McLuhan dapat dikatakan sebagai teoritisi media yang menandai masa modern dengan kemunculan televisi yang perlahan-lahan menggantikan posisi dari media cetak yang telah lebih dulu ada.

Dengan mengatakan “medium is the message”, McLuhan mengatakan bahwa ada konsekuensi personal dan social dari kedatangan / kemunculan suatu medium, dan hal ini merupakan perluasan / perpanjangan / kepanjangan dari diri manusia. Otomatisasi yang banyak muncul pada tahun-tahun tersebut memberi dampak positif dan negative bagi kehidupan manusia: yang negative adalah otomatisasi membuat manusia kehilangan pekerjaan, tetapi sebaliknya otomatisasi memberikan peran bagi manusia dalam keterlibatan yang lebih jauh dalam pekerjaannya, dan hubungan antar manusia yang ada di dalamnya. (p. 7)

Medium is the message juga berarti medium-lah yang menggeser dan mengontrol skala dan bentuk perkumpulan manusia dan aksinya. McLuhan di sini melihat bahwa studi tentang media tak Cuma menekankan masalah “content” tapi juga pada “medium” dan juga “cultural matrix” dimana medium tersebut beroperasi (p. 11). Mc Luhan juga menekankan di sini bahwa produk dari ilmu pengetahuan modern adalah netral: tidak baik ataupun tidak buruk, tergantung dengan bagaimana ia diperlakukan atau dipergunakan, yang akan menentukan nilainya. (p. 11)

Pernyataan lain dari McLuhan yang kemudian akan dinilai sebagai suatu futuristic dikemukakan oleh McLuhan adalah ketika ia mengomentari tentang medium film: “The message of the movie medium is that of transition from lineal connections to configurations.”

Dalam soal teknologi sebagai perluasan manusia, sudah pernah disinggung McLuhan dalam buku Gutenberg Galaxy, dimana McLuhan menyebut roda sebagai perluasan diri dari roda. Sebelum manusia menemukan roda, manusia menggunakan binatang seperti kuda, untuk perpanjangan kakinya untuk melakukan perjalanan. Namun ketika roda menggantikan kaki binantang, maka asosiasi manusia diputus dari struktur organis yang dia akrabi. Roda di sini tetap menjadi perluasan manusia, karena dengan roda berada di luar tubuh manusia, ia tetap menjadi pengganti kaki untuk mengatasi jarak ataupun mengatasi beban yang harus dibawa manusia. (van Eymeren 2014: 58)

McLuhan juga menyinggung peran dari listrik yang awalnya kita mengira bahwa listrik bukanlah media, karena tak ada konten di dalamnya. Namun kita akan terpana ketika kita menyalakan listrik dan untuk iklan billboard yang ada di pinggir jalan, listrik akan menghasilkan pesan yang akhirnya kita bisa baca. Di sini McLuhan mengatakan bahwa listrik adalah media komunikasi juga, tetapi peran dan karakternya menjadi suatu cara pandang baru. Dalam cara pandang baru ini, media adalah pesan. (van Eymeren 2014: 46)

Sekarang kita beralih dulu pada bacaan berikutnya, yaitu karya Jim McGuigan, Modernity and Postmodern culture (2006). McGuigan menyebutkan ada berbagai macam pengertian postmodernisme, mulai dari mereka yang melihat postmodernisme ini sebagai ide dan subyektivitas, ada juga yang melihat postmodernisme sebagai idealism filosofis dan reduksi budaya – sebagai lawan dari reduksi ekonomi (p. 2). McGuigan sendiri menyatakan dirinya lebih dekat dengan pendapat Krishan Kumar yang walaupun skeptic dengan klaim-klaim yang diajukan oleh para penganut postmodernisme, namun percaya bahwa ada kebenaran di dalamnya, dan juga ada tanda penting yang merepresentasikan waktu tersebut (p.3).

Oleh karena itu McGuigan menyebutkan postmodernisme sebagai “ide filosofis, yang diambil dari toeri-teori poststrukturalis, dan formasi budaya, yang utamanya terkait dengan kebudayaan populer global”. Lebih jauh McGuigan mengatakan bahwa ia percaya bahwa peradaban modern saat ini ia nilai sebagai peradaban kapitalis, dan sejauh ini kapitalisme tak menyurut, maka ia tak percaya klaim dari postmodernisme yang menganggap bahwa kita saat ini hidup dalam masa transisi dari periode modernism menuju ke postmodernisme dalam sejarah peradaban manusia (p.3).

Dalam bukunya, McGuigan hendak menggambarkan kompleksitas yang terjadi antara dunia modern dan dunia postmodern. Diskusi tentang postmodernisme ini sendiri menghilang dalam beberapa tahun belakangan ini, dan menurut McGuigan ini tak lebih karena postmodernisme dilihat tak lebih dari sekedar trend sesaat saja. Klaim pergeseran masyarakat dari modern ke postmodern menurut McGuigan tak meyakinkan. Lebih meyakinkan apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens sebagai “accentuated modernity”, atau yang juga dimaksud sebagai “globalisasi dari dinamika transformative modernitas” (p.4), atau Frederic Jameson menyebutnya sebagai “the cultural logic of late capitalism” (p.6).

Sementara itu Dominic Srinati menyebutkan lima karakter dari budaya postmodern (p.6):

  1. Tidak ada lagi pembedaan antara budaya dan masyarakat
  2. Penekanan pada style / gaya di atas soal substansi ataupun konten
  3. Tidak ada lagi pembedaan antara budaya tinggi (high culture) dengan budaya rendah (low culture)
  4. Kebingungan soal tempat dan waktu
  5. Merosotnya yang disebut sebagai “meta narratives” (narasi-narasi besar)

 

Masa yang disebut sebagai postmodernisme ditandai dengan adanya tulisan dari Francois Lyotard pada tahun 1979, The Postmodern Condition, yang menggambarkan kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam masyarakat, namun di sisi lain juga ditunjukkan kemunduran yang terjadi, terutama dengan pemikiran Marxisme yang dianggap tidak lagi kredibel, digantikan dengan kemajuan-kemajuan budaya – dalam pengertian estetis (p.10)

Sejak saat itu lalu postmodernisme berkembang sebagai suatu pemikiran yang tidak semata dalam dunia estetis (dalam arti budaya pertunjukan seperti lukisan, arsitektur) tetapi juga berkembang dalam dunia sastra, pemikiran ilmu social, bahkan sejumlah orang yang disebut sebagai pemikir postmodernisme, antara lain misalnya adalah Jean Paul Baudrillard. Bahkan dalam ilmu social pun, postmodernisme memiliki jejaknya, sebagaimana yang dibahas oleh Rosenau (1992) misalnya.

Postmodernisme sendiri merupakan pendekatan atau pemikiran yang menolak adanya narasi tunggal dalam melihat berbagai masalah yang ada dalam berbagai ranah ilmu. Penolakan ini menandai bahwa tidak ada “yang paling benar” dalam khasanah ilmu manapun, dan sebaliknya terbuka kemungkinan untuk adanya “narasi-narasi tandingan” yang juga bisa mewarnai khasanah ilmu tersebut. Misalnya tak ada konsep “kebenaran” atau “yang paling artistic” jika kita melihat khasanah seni, dan sebaliknya karya-karya seni dari seniman manapun memiliki narasi masing-masing yang tak perlu diperdebatkan, siapa yang lebih estetis, siapa yang lebih canggih pencapaiannya, dan lain-lain.

Sekilas kita mendengar ini mirip dengan ada yang menjadi pandangan dari cultural studies yang tidak mau mendikotomikan antara yang disebut sebagai budaya tinggi atau budaya rendah. Budaya tinggi di sini misalnya merujuk pada pertunjukan opera, balet, music klasik dan lain-lain, dan sebaliknya budaya rendah di sini merujuk misalnya pada music populer, apakah itu rock, pop, rap, dan lain sebagainya. Namun dalam pandangan cultural studies hal ini ditolak, sebagaimana postmodernisme juga menolak hal ini – jika merujuk pada pemikiran Dominic Srinati di atas.

Buku Jim McGuigan sendiri mencoba untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran kebudayaan yang terkait dengan pandangan modernism dan postmodernisme. Berbagai teori dipertimbangkan, diulas dan kemudian diperbandingkan dengan teori lainnya, namun pada akhirnya McGuigan sendiri berkesimpulan bahwa: pandangan Frederic Jameson (1984) yang menyebut postmodernisme sebagai logika kultural dari kapitalisme akhir, memberikan masukan yang lebih masuk akal ketimbang dengan apa yang telah ditulis oleh Jean-Francois Lyotard dengan tesisnya yang tidak kokoh (p.170).

Apakah kondisi ini membuat kita jadi lebih pesimis ke depannya? McGuigan mengutarakan pandangannya dalam melihat kondisi saat ini:

“We live in a world of globalizing capitalism, of environtmental risk and great uncertainty. Yet there is considerable hope in the sheer fluidity of culture and identity, of the breaking down of old barriers and the opening up of new networks of possibility. In this kind of context, different modes of reasoning perform different functions. Instrumental reason is useful but blind. Ironic reason is fun but irresponsible. Critical reason is vital.” (p. 171)

Lalu apa yang bisa menjembatani antara dua literature di atas, baik dari karya Marshal McLuhan, dengan karya Jim McGuigan tersebut? Secara mudah dapat dikatakan karya McLuhan menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa awal modernism, yang ditandai dengan penemuan media-media baru (pada saat itu adalah televisi), bagaimana ia menggeser peran dari media cetak yang selama ini dominan. Kemudian dari karya McGuigan kita disodorkan pada kondisi atas postmodernisme yang sebenarnya mungkin tak lebih dari trend sesaat, walaupun ada narasi yang juga penting disebut di sini, terkait dengan hancurnya meta-narrative, dan munculnya little-narratives yang tersebar di mana-mana.

Penghubung lain yang bisa diangkat di sini adalah melihat atau membandingkan antara apa yang telah ditulis Marshal McLuhan di atas, dengan apa yang dikemukakan oleh Jean Paul Baudrillard, yang dianggap sebagai salah satu corong dari pemikiran postmodernisme. Douglas Kellner, gurubesar dari University of California, Los Angeles, menulis paper yang membandingkan peran McLuhan dan Baudrillard dalam konteks antara modernisme dan postmodernisme.

Menurut Kellner (ny: 1) baik McLuhan dan Baudrillard keduanya menyampaikan pemikiran yang provokatif terkait dengan peran media dan teknologi baru dalam dunia kontemporer ini. Keduanya menyampaikan pemikiran yang penting dan berpengaruh dimana dikatakan media adalah institusi yang powerful, dan merupakan kekuatan social yang otonom yang telah menghasilkan banyak sekali efek.

Kaitan antara McLuhan dengan pandangan modernism dipertegas Kellner dengan pernyataan demikian: McLuhan dapat dibaca sebagai bagian dari teori social klasik dimana ia menjadi teoritisi utama dari modernitas, dengan analisis yang original dan tajam tentang asal muasal, kondisi dan perjalan dari dunia modern. Lebih jauh dapat juga dikatakan bahwa McLuhan adalah salah seorang pembuat teori yang antisipatif dari kemunculan postmodernisme, meninggalkan era media cetak dan masuk ke masyarakat baru postmodern dengan bentuk baru kebudayaan dan masyarakat (p.1).

Dalam analisa Kellner (p.3), McLuhan menyebutkan bahwa era modern ditandai dengan adanya “ledakan / explosion” teknologi, kota-kota, Negara dan juga kerajaan, bentuk budaya, spesialisasi, bentuk transportasi dan komunikasi, dan juga media. Dalam pandangan McLuhan, kemunculan media baru bukanlah tambahan, supplement pada media sebelumnya ataupun bentuk budaya sebelumnya, tetapi menjadi sesuatu kekuatan ledakan yang berkompetisi dengan media lainnya. Di sini menurut Kellner McLuhan menawarkan pemikiran yang brilian tentang peran media dalam modernitas dan bagaimana media berfungsi sebagai konstituen utama dari budaya dan masyarakat, dan mungkin juga menunjukkan ketidaksetujuan McLuhan dengan era modernism dan menjadi tanda kemunculan era postmodernisme. McLuhan dalam bukunya yang terkenal Understanding Media menuliskan demikian:

“After three thousand years of explosion, by means of fragmentary and mechanical technologies, the Western world is imploding. During the mechanical ages we had extend our bodies in space. Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned. Rapidly, we approach the final phase of the extensions of man – the technological simulation of consciousness, when the creative process of knowing will be collectively and corporately extended to the whole of human society, much as we have already extend our senses and our nerves by the various media (McLuhan 1994: p.3-4)

Baudrillard, walaupun sering disebut dengan McLuhan-nya masa kini, punya sejumlah kritik pada pemikiran McLuhan, terutama ketika ia menyebut McLuhan sebagai orang yang “technological reductionist and determinist”. Baudrillard pun sangat kritis dalam melihat perkembangan kemunculan media pada era modernism, terutama dengan kemunculan televisi di tahun 1960an tersebut. Buat Baudrillard kemunculan televisi itu adalah konstituen penting dari era postmodernisme, yang juga menandai perluasan tanda dan simulacra secara cepat dalam realitas social dan kehidupan sehari-hari kita (p.7). Pada akhir tahun  1970an, Baudrillard menyebut media sebagai mesin simulasi utama yang mereproduksi imaji, tanda, kode, dan telah menghasilkan realisme hipereality yang otonom, yang memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan penghancuran kehidupan social.

Simulasi untuk Baudrillard merujuk pada situasi dimana kode, model, dan tanda adalah bentuk-bentuk terorganisir dari tata kelola baru dimana simulasi berkuasa. Dalam masyarakat simulasi, identitas dikonstruksi oleh imaji yang dipergunakan, kemudian kode dan model menentukan bagaimana individu menerima mereka dan berhubungan dengan orang lain. Ekonomi, politik, kehidupan social, dan kebudayaan, semuanya dikuasai oleh simulasi, dimana kode dan model menentukan bagaimana suatu barang dikonsumsi, dan hidup dijalani (p.7).

Menurut Kellner, Baudrillard mengikuti jejak McLuhan dalam membuat “ledakan” menjadi konstituen kunci dari masyarakat postmodern, dimana kelas social, gender, perbedaan politik, dan realisme otonom masyarakat dan budaya saling melebur, menghapus batas-batas dan perbedaan-perbedaan yang dibuat sebelumnya. Baudrillard pun menyebutkan adanya tiga tingkat simulakra (Lane 2000: 30):

  1. Tingkat pertama simulasi: adanya kopi yang sama persis dari realitas – misalnya seorang pelukis yang melukis pemandangan atau cakrawala, ia berupaya membuat lukisan yang semirip-miripnya dengan apa yang ia lihat
  2. Tingkat kedua simulasi: kopi yang dibuat itu sedemikian rupa bagusnya, sehingga mengaburkan batas antara mana yang asli dan mana yang kopi, atau representasinya.
  3. Tingkat ketiga simulasi: suatu realitas yang terbentuk dan berdiri sendiri, dan taka da kaitannya dengan realitas fisik / nyata di dunia. Contohnya adalah ‘virtual reality’ dimana dunia dioperasikan lewat bahasa computer, dan ini dihasilkan dari algoritma atau model matematika yang abstrak. Simulasi tingkat ketiga inilah yang disebut sebagai hyperreal.

 

Di sini menurut Kellner, tiga tahap simulacra terkait dengan tahapan masyarakat yang dikemukakan oleh McLuhan, yaitu:

– pre-modern society, dimana kata-kata berhubungan dengan benda da nada harmoni alami antara individu, budaya dan dunia

– modern society and the production of a society, dimana terjadi lonjakan produksi, imaji, ide, kemudian berekspansi secara global, menghasilkan konflik ide dan budaya dengan debat soal hubungan antara konsep dan dunia, teori dan realitas

– global system – sifatnya fungsional dan operasional, dengan computer yang hiperreal dan system media yang membentuk simulasi yang membentuk model untuk kehidupan sehari-hari dan mengambil energy, kekuasaan dan control.

 

Walau pandangan Baudrillard terhadap media demikian negative, namun ia juga menggunakan kalimat McLuhan dalam ulasannya:

“The medium is the message signifies not only the end of the message, but also the end of the medium. There are no longer media in the literal sense of the term (I am talking above all about the electronic mass media) – that is to say, a power mediating between one reality and another, between one state of the real and another – neither in content nor in form. Strictly speaking this is what implosion signifies: the absorption of one pole into another, the short-circuit between poles of every differential system of meaning, the effacement of terms and of distinct oppositions, and thus that of the medium and the real …. It is useless to dream of a revolution through content or through form, since the medium and the real are now in a single nebulous state whose truth is undecipherable.” (Baudrillard 1978: 102-103)

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Bagaimana tahapan simulasi terjadi di Kompas dan Tempo dalam proses menuju digitalisasi ini ?

 

Sumber Rujukan Lain:

Douglas Kellner, “Reflections on Modernity and Postmodernity in McLuhan and Baudrillard” (www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/) – diambil dari artikel “Ressurecting McLuhan? Jean Baudrillard and the Academy of Postmodernism”, in Marc Raboy & Peter A Bruck (eds.) Communication for and against Democracy, Montreal/New York: Black Rose Books, 1989; dan buku Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxism to Postmodernism and Beyond, Cambridge, UK & Palo Alto: Stanford University Press & Polity Press, 1989.

Jean Paul Baudrillard, In the Shadows of the Silent Majorities, New York: Semiotext(e)

Margawati van Eymeren, Media Komunikasi dan Dampaknya terhadap Kebudayaan: Analisis Atas Pandangan Herbert Marshall McLuhan, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2014.

Pauline Marie Rosenau, Post-modernism and the Social Sciences: Insights, Inroads, and Intrusions, Princeton: Princeton University Press, 1992.

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 18, 2019

Topik: “Teori Media, Hiperealitas, dan Masyarakat Informasi”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 19 November 2019)

Sumber Bacaan:

  1. Manuel Castells, The Rise of The Network Society, Vol 1: The Information Age: Economy, Society, and Culture (2nd), West Sussex: Willey-Blackwell, 2010
  2. Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1994.

Minggu ini ada dua bacaan terpisah yang datang dari dua nama besar dalam dunia sosiologi dan media yang kemudian menjadi teks penting dalam banyak kajian komunikasi dan media kontemporer. Yang pertama adalah Manuel Castells, sosiolog asal Spanyol yang kemudian meniti karier ke sejumlah universitas di Amerika seperti di Universitas California, Berkeley, yang kedua adalah penulis Perancis yang dianggap menjadi salah satu pemikir penting era postmodernisme, Jean Baudrillard.

Kita mulai dari buku Manuel Castells, yang sebenarnya menulis trilogi (tiga buah buku dalam satu kesatuan judul) The Information Age: Economy, Society and Culture (buku pertama diberi sub judul The Rise of Network Society, buku kedua diberi sub judul The Power of Identity dan buku ketiga diberi judul End of Millenium). Edisi pertama buku ini terbit tahun 1996, dan edisi keduanya (yang dipergunakan dalam review ini) pada tahun 2010.

“Kita hidup di jaman yang membingungkan”, demikian Castells memulai pengantar untuk buku edisi dua ini. Membingungkan karena kategori intelektual yang kita pakai untuk mengerti lingkungan di sekitar kita telah mengalami banyak perubahan, dan dalam millennium baru yang kita hidupi perubahan terjadi di bidang social, teknologi, ekonomi dan budaya yang kemudian menghasilkan bentuk masyarakat yang baru, yaitu masyarakat berjaringan. Castells mengatakan bahwa perlunya ada suatu pemahaman baru ini setelah ia melihat pada decade pertama millennium ini telah terjadi banyak konflik dan krisis (p.xvii).

Yang dimaksud Castells sebagai masyarakat jaringan adalah hasil dari jaringan dari berbagai dimensi kunci dari organisasi sosial dan praktek social. Lebih dari itu sementara jaringan adalah bentuk lama dari organisasi yang dialami manusia, kemunculan teknologi jaringan digital – sebagai karakter utama dari Era Informasi – memperkuat jaringan sosial dan jaringan organisasi yang memungkinkan ekspansi yang tak putus-putus, dan juga rekonfigurasi, melampaui batasan tradisional dari bentuk jaringan dari organisasi untuk mengatasi kompleksitas dari jaringan dengan ukuran tertentu.

Castells juga melihat bahwa gerakan social yang ada, dan juga strategi geopolitik ikut menjadi global yang kemudian menjadi sumber dari kekuatan global, sementara itu Castells juga melihat justru peran Negara-bangsa (nation state) perlahan-lahan kehilangan kapasitasnya untuk mengontrol dan mengatur arus global kekayaan dan informasi ini. Di sini Negara-bangsa jadi terlihat ironis karena Negara bangsa lah yang menjadi salah satu pendukung aktif dari perkembangan globalisasi ini pada saat mereka berpikir mereka akan bisa menguasai pasar bebas dan arus bebas capital dan teknologi untuk kepentingan mereka sendiri (p. xviii)

Dalam kata pengantar edisi kedua ini, Castells menyebutkan enam perkembangan kunci yang terjadi dalam decade pertama millennium ini yang nantinya akan berpengaruh pada perubahan masyarakat secara global:

  1. Krisis finansial global
  2. Kerja dan pekerjaan yang berubah
  3. Transformasi komunikasi
  4. Transformasi ruang dan waktu dalam pengalaman hidup manusia
  5. Manusia mengalami waktu dengan cara yang berbeda tergantung bagaimana mereka hidup secara terstruktur dan dipraktekkan
  6. Teori dan riset yang terkait dengan masyarakat jaringan

 

Kemunculan jaringan internet, kemudian software yang terbuka, membuat internet berekspansi dengan leluasa pada tahun 1990an. Walaupun sebenarnya internet adalah teknologi tua, karena ditemukan pada tahun 1969, dan baru dikembangkan 20 tahun kemudian. Castells mencatat bahwa pada tahun 1995 di seluruh dunia baru ada 40 juta orang pengguna internet, dan dalam 14 tahun kemudian jumlahnya naik hingga 1.5 milyar orang di dunia sebagai penggunanya (kenaikan 37,5 kali).

Selain internet, perkembangan yang juga tak kalah mengesankan adalah perkembangan teknologi wireless yang menurut hitungan Castells pada bulan Juli 2008 jumlahnya sudah mencapai 3.4 milyar pelanggan di seluruh dunia. Angka ini adalah 52 persen dari total penduduk di dunia (p. xxv).

Apa dampak dari ini semua? Internet, world wide web dan komunikasi wireless bukanlah media dalam arti tradisional, namun kehadiran ketiganya membuat batas-batas antara media komunikasi massa dan bentuk-bentuk lain komunikasi menjadi kabur. Hari ini, internet menjadi sesuatu yang tak dapat dipisahkan dari hidup manusia, karena lewat internet manusia mencari informasi, hiburan, layanan public, politik, bahkan agama (p. xxvi). Castells pun menyebut istilah “mass-self communication” merujuk pada sejumlah situs berbagi seperti Youtube. Ia disebut sebagai mass communication karena potensinya untuk menjangkau banyak khalayak lewat hubungan person to person (p2p) dan berkat adanya internet (p.xxix). untuk itu Castells pun menyodorkan hipotesisnya bahwa sebuah budaya baru telah terbentuk, yaitu the culture of real virtuality, dimana jaringan digital dari komunikasi multimodal telah menjadi inklusif untuk semua ekspresi kebudayaan dan pengalaman personal sehingga mereka telah membuat sesuatu yang virtual menjadi dimensi fundamental dari realitas kita (p. xxxi).

Pada titik inilah lalu kita jadi akan teringat dengan konsep simulasi-simulakra dan hiperrealitas dari Jean Baudrillard. Baudrillard sendiri adalah seorang pemikir Perancis yang lahir tahun 1929. Awalnya ia mengajar sosiologi di sekolah menengah sebelum kemudian ia menerbitkan tesisnya berjudul The System of Objects (asli berbahasa Perancis terbitan tahun 1966), dan kemudian menerbitkan buku lainnya Simulations (terbit dalam bahasa Perancis tahun 1981).

Baudrillard mengatakan ada tiga tingkat simulasi (Lane 2000: 30):

  1. Tingkat pertama simulasi: adanya kopi yang sama persis dari realitas – misalnya seorang pelukis yang melukis pemandangan atau cakrawala, ia berupaya membuat lukisan yang semirip-miripnya dengan apa yang ia lihat
  2. Tingkat kedua simulasi: kopi yang dibuat itu sedemikian rupa bagusnya, sehingga mengaburkan batas antara mana yang asli dan mana yang kopi, atau representasinya.
  3. Tingkat ketiga simulasi: suatu realitas yang terbentuk dan berdiri sendiri, dan taka da kaitannya dengan realitas fisik / nyata di dunia. Contohnya adalah ‘virtual reality’ dimana dunia dioperasikan lewat bahasa computer, dan ini dihasilkan dari algoritma atau model matematika yang abstrak. Simulasi tingkat ketiga inilah yang disebut sebagai hyperreal.

Dalam bagian awal buku Simulasi, dikutipkan kalimat dari Ecclesiastes “The simulacrum is never what hides the truth – it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true”.

Yang menarik Baudrillard untuk menunjukkan apa itu hiperrealitas menunjuk pada dua kasus: Disneyland dan kasus Watergate (p.12-15). Disneyland adalah taman bermain yang merujuk awalnya pada dunia karakter kartun yang diproduksi oleh Walt Disney, animator ulung, yang kemudian mendirikan perusahaan sendiri dan hingga hari ini menjadi produsen film-film animasi atau pun film anak-anak atau remaja lainnya. Disneyland adalah taman imajinasi dengan karakter-karakter ataupun tempat-tempat bermain yang akan memuaskan rasa kekanak-kanakan pengunjungnya.

Menurut Baudrillard, Disneyland adalah simulasi tingkat tiga yang ia kemukakan, dimana Disneyland hadir untuk menutupi apa yang disebut sebagai ‘real country’ atau ‘real America’. Disneyland hadir sebagai suatu imajinasi untuk membuat kita percaya bahwa Disneyland dengan segala isinya adalah real, sementara di luar Disneyland, baik itu kota Los Angeles, ataupun Negara Amerika tidaklah real (p. 12), atau juga bisa dilihat bahwa sifat kekanak-kanakan terfasilitasi dalam Disneyland, sementara yang rasional tak terfasilitasi di sana. Yang real adalah yang kekanak-kanakan itu. Di luar itu tidak ada.

Baudrillard membahas satu hal lagi dari khasanah sejarah Amerika, yaitu skandal Watergate pada tahun 1972 (p.xiv-xv). Watergate sendiri adalah skandal politik luar biasa dimana partai Republik menyadap kantor lawan politiknya, partai Demokrat, dan hal ini diketahui dari tertangkapnya lima orang di kantor partai Demokrat itu. Penyelidikan dua wartawan Washington Post, Carl Berstein dan Bob Woodward menunjukkan bahwa perintah penyadapan itu datang dari presiden AS asal Republik, yaitu Richard Nixon. Tak lama setelah ia terpilih kembali sebagai presiden AS, ia malah mundur ketika skandal penyandapan mencapai puncaknya, dan nama Nixon disebut sebagai actor intelektualnya.

Buat Baudrillard kasus Watergate ini juga sejenis hiperrealitas dimana Watergate menunjukkan bahwa dalam skandal ini fungsi Negara yang harusnya menjaga demokrasi, menjaga warganya, memiliki etika politik semuanya luruh, hancur, dan tergantikan dengan Negara yang curang, yang menjadi predator politik. Negara yang curang dan predator politik inilah simulasinya. Ia menggantikan ‘realitas’ bahwa Negara seharusnya demokrasi, memiliki etika politik, dan menjaga warganya.

 

Komentar

Dari paparan sosiologis yang ditunjukkan Castells kita diingatkan bahwa ke depan kita akan berhadapan dengan masyarakat dan perabadan yang memiliki ketergantungan tinggi dengan teknologi. Banyak hal-hal fisik akan tergantikan dengan hal-hal yang virtual (termasuk kejahatan, sebagaimana Castells pun menunjuk pada kota-kota yang menjadi jaringan criminal), sementara itu dari pemikiran Baudrillard kita pun diingatkan tentang simulasi atau hiperrealitas yang berkembang dalam masyarakat, sesuatu yang lebih nyata daripada kenyataan yang ada.

Memang Baudrillard seolah membolak-balik pemikiran ‘normal’ manusia untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang hiperrealitas. Peringatan Baudrillard ini penting untuk menghadapi dunia saat ini yang telah digambarkan Castells di atas, bahwa ke depan manusia akan banyak berhadapan dengan hiperrealitas (istilah Baudrillard) ini atau fenomena real-virtuality (bahasa Castells).

Perkembangan ini sangat relevan dengan apa yang hendak saya teliti, terutama melihat bagaimana perkembangan digitalisasi yang terjadi di dua newsroom: Kompas dan Tempo. Perkembangan jurnalisme digital secara umum di dunia sudah sampai pada penggunaan robot ataupun artificial intelligence. Banyak jurnalis yang khawatir dengan perkembangan ini karena mereka merasa posisi pekerjaan mereka ada dalam ancaman, sementara di sisi lain, media sendiri mempertimbangkan penggunaan robot ataupun AI sebagai inovasi baru dan upaya ekonomisasi (lihat juga Fan 2019). Namun pertanyaan dasarnya di sini: apakah memang pekerjaan jurnalis akan sepenuhnya tergantikan dengan AI atau robot ini, atau bagaimana cara jurnalis berstrategi dengan perkembangan baru ini? Apakah ini adalah kondisi terusan dari pertarungan antara manusia versus mesin, dalam dunia jurnalistik?

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Jenis teknologi apa saja yang dipergunakan dan dikembangkan oleh Tempo dan Kompas dalam evolusi jurnalisme digitalnya, dan apa teknologi yang tidak dipergunakan? Mengapa teknologi-teknologi tersebut yang dipergunakan, apa alasannya? Mengapa juga jenis teknologi tertentu tidak dikembangkan dan apa alasannya?

 

Sumber Rujukan Lain:

Fan, Shelly. (2019) Will AI Replace Us? A Primer for the 21st Century, London: Thames & Hudson.

Haryatmoko (2016) “Jean Baudrillard: Masyarakat Konsumeris: Manipulasi Tanda dan Hiperrealitas”, dalam Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, Yogyakarta: Kanisius, 2016

Lane, Richard J.(2000), Jean Baudrillard, New York & London: Routledge.

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 11, 2019

Topic: “Teori Media, dan Teori Feminisme”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 12 November 2019)

 

 

Sumber Bacaan:

  1. Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, New York: Routledge, 1999
  2. Judith Butler, Undoing Gender, New York: Routledge, 2004

 

Siapa itu Judith Butler?

Judith Butler adalah Maxine Elliot Professor dalam Rhetoric and Comparative Literature di University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Mungkin kita tak bisa langsung menyebut Butler sebagai seorang pemikir feminis, tetapi pertama kali dia adalah seorang filsuf. Beberapa karya dia sebelum akhirnya menulis Gender Trouble, dan Undoing Gender menunjukkan minat dia yang besar pada dunia filsafat, serta terutama ia tergila-gila dengan pemikir G.W.F. Hegel (1770-1831), filsuf Jerman yang terkenal dengan metode dialetikanya. Buku pertama Butler adalah buku yang mengulas bagaimana pengaruh pemikiran Hegel pada sejumlah tokoh pemikir Perancis abad 20 (Salih 2002: 1).

Sejumlah buku yang ditulis Butler sebelum Gender Trouble misalnya (Salih 2002: xiii) – daftar disusun menurut abjad judul bukunya:

  • Bodies that Matter (1993)
  • Contingent Foundations (1990/2)
  • Contigency, Hegemony, Universality (2000)
  • Changing the Subject (2000)
  • Excitable Speech (1997)
  • Foucault and the Paradox of Bodily Inscriptions (1989)
  • Gender as Performance (1994)
  • Gender Trouble – first edition (1990)
  • Gender Trouble – anniversary edition (1999)
  • The Nothing That is (1991)
  • The Psychic Life of Power (1997)
  • Revisiting Bodies and Pleasures (1987)
  • Subjects of Desire (1987 / 1999)
  • Sex and Gender in Simone de Beavoir’s Second Sex (1986)

Dari daftar buku di atas maka kita akan bisa melihat luasnya wawasan Butler mulai dari masalah psikoanalisa, feminism, dan teori post-struktural. Dua buku yang paling banyak disebut atau diulas adalah Gender Trouble (1990) dan Bodies That Matter (1993). Karya-karya Butler utamanya mempersoalkan masalah pembentukan identitas dan subyektivitas, mengurutkan proses bagaimana pada akhirnya kita bisa menjadi subyek ketika kita mengasumsikan identitas-identitas (seperti sex, gender, ras) dikonstruksikan bagi kita (terkadang kita sendiri yang melakukannya) di dalam struktur kekuasaan yang ada. Butler terlibat dalam interogasi (pemeriksaan) dari subyek dimana ia bertanya bagaimana proses subyek menjadi muncul, dengan alat apa, atau cara apa mereka muncul, dan juga bagaimana konstruksi itu bisa berjalan dan kapan konstruksi itu gagal. Subyek dari Butler itu bukanlah individu tetapi struktur bahasa (Salih 2002: 2).

Cara kerja Butler menggunakan metode yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Michel Foucault yaitu menggali masalah secara genealogi. Apa itu genealogi? Genealogi adalah suatu model pelacakan sejarah yang tidak mengklaim adanya “kebenaran” / truth, ataupun pengetahuan sebagai tujuannya. Menurut Butler sendiri genealogi yang ia lakukan ialah bukan suatu sejarah dari peristiwa-peristiwa, tetapi suatu pencarian pada kondisi dimana kemunculan (emergence) apa yang disebut sebagai sejarah, atau sebuah momen dimana kemunculan bukanlah sesuatu yang final dan dapat dibedakan dengan fabrikasi (Salih 2002: 10).

Salah satu konsep penting yang dikemukakan oleh Butler adalah yang disebut sebut sebagai “performativity”. Dikatakan oleh Salih (2002: 10) bahwa “Butler’s genealogical critique of the category of the subject dovetails with her notion that gendered and sexed identities are performative”. Di sini Butler mengembangkan konsep yang telah dikemukakan oleh Simone de Beauvoir, “seseorang itu tidak dilahirkan, tetapi melainkan, menjadi seorang perempuan”, dimana yang hendak ditekankan adalah “perempuan” itu bukanlah sesuatu yang ada begitu saja, atau tampil secara lahiriah, tetapi “perempuan” karena kita melakukannya (Salih 2002: 10).

Konsep performativity sendiri dibahas Butler secara khusus dalam bagian akhir buku Gender Trouble (1999: 171-180, Salih 2002: 62-64):

“In other words, acts, gestures, and desire produce the effect of an internal core or substance, but produce this on the surface of the body, through the play of signifying absences that suggest, but nevel reveal, the organizing principle of identity as a cause. Such acts, gestures, enactments, generally construed, are performative in the sense that the essence or identity that they otherwise purport to express are fabrications manufactured and sustained through corporeal signs and other discursive means.”  (Butler 1999: 173)

Lebih jauh Butler mengatakan, apa yang membuat gender itu dianggap sebagai sebuah aksi / tindakan (act)? Butler mengatakan bahwa gender dianggap sebagai aksi sebagai bagian dari drama ritual social dimana ia membutuhkan penampilan yang terus menerus diulang. Pengulangan dan pengalaman kembali itu adalah seperangkat makna yang telah tumbuh secara social (Butler 1999: 178).

Butler juga mengatakan bahwa gender tak bisa dilihat atau diinterpretasi sebagai identitas yang stabil atau ia menjadi lokasi dari agency yang melakukan sejumlah tindakan, tetapi sebaliknya gender adalah identitas yang jarang abadi, dan identitas terletak dalam ruang luar lewat suatu tindakan pengulangan yang formal (a stylized repetition of acts).

The effect of gender is produced through the stylization of the body and, hence, must be understood as the mundane way in which bodily gestures, movements, and styles of various kinds constitute the illusion of an abiding gendered self. This formulation moves the conception of gender off the ground of a substantial model of identity to one that requires a conception of gender as a constituted social temporality (Butler 1999:179).

 

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Dari konsep performativity ala Butler, bagaimana identitas Tempo dan Kompas yang berubah-ubah itu diinterpretasikan lewat hasil-hasil laporan utama mereka dalam situasi perubahan landscape media digital?

 

Sumber Rujukan Lain:

Sara Salih, Judith Butler, New York: Routledge, 2002.

 

 

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 4, 2019

Topic: “Teori Media, Interaksionisme dan Strukturasi”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 5 November 2019)

 

 

Sumber Bacaan:

  1. Anthony Giddens, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press, 1984
  2. Herbert Blumer, “Society as Symbolic Interaction”, in Arnold M. Rose, Human Behavior and Social Processses: Symbolic Interactionist Approach, Houghton Mifflin Company, 1962, p. 179-192

 

Bacaan minggu ini ingin menunjukkan tarik menarik yang terjadi antara individu dan struktur yang ada dalam masyarakat, dan nantinya hal ini akan terkait juga dengan teori media; siapa yang bisa menghasilkan adanya perubahan dalam dunia media atau siapa yang bisa melakukan respon atas perubahan yang terjadi di tingkat industry media.

Teori yang pertama adalah dikemukakan oleh Herbert Blumer (1900-1987) yang melihat masyarakat sebagai suatu interaksi simbolis. Dari bacaan yang diberikan, kita melihat bahwa Blumer mengikuti banyak pandangan pemikir social sebelumnya, yaitu George Herbert Mead (1863-1931).

Beberapa konsep penting yang dikemukakan oleh Blumer adalah:

Manusia bukanlah sebuah organisme yang semata-mata bergerak dari pengaruh luar, tetapi ia merupakan “organisme yang sadar akan dirinya” . karena ia sadar dengan dirinya, maka ia bisa memandang dirinya sebagai obyek pikirannya atau berinteraksi dengan dirinya sendiri, sama seperti ketika dirinya bisa berinteraksi dengan orang lain. (p. 181)

Di sini tercakup  juga kegiatan dimana manusia menginterpretasi apa yang dilakukan orang lain. Mengutip pandangan Mead, Blumer mengatakan bahwa signfikansi menyebutkan tentang dirinya adalah suatu hal yang penting karena hal itu mengindikasikan sesuatu yang  ia bisa tarik dari setting yang ada, dan memberikan makna atau menjadikannya sebagai obyek. Implikasi lainnya adalah manusia membuat indikasi pada dirinya dimana tindakan dikonstruksikan atau direncanakan ketimbang dilepaskan begitu saja. Dengan begini, maka manusia akan memperhatikan apapun yang hendak ia lakukan. Ia harus memperhatikan apa yang hendak ia lakukan, bagaimana cara ia melakukan hal tersebut, dan juga mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu dimana ia akan melakukan tindakannya.  Inilah yang disebut sebagai proses penanda diri (self-indication). (p.182)

Self indication ini adalah proses komunikatif yang bergerak dimana manusia mencatat hal-hal penting,  memeriksanya, dan memberikan makna atas hal-hal tersebut, serta memutuskan apa yang akan dilakukan atas makna tersebut. Proses self-indication ini tidak bisa berada di bawah tekanan apapun yang datang baik dari dalam maupun dari luar yang akan mempengaruhi tingkah lakunya. Tekanan yang datang dari lingkungan sekitar, stimuli dari luar, dorongan organic, harapan, sikap, perasaan, ide dan sejenisnya tidak bisa menjelaskan soal self-indication ini.

Sebaliknya dengan self-indication ini manusia bisa mengatasi segala pengaruh pada dirinya, dan menempatkan dirinya di atas tekanan-tekanan tersebut, dan bahkan bisa berbuat sebaliknya dari tekanan yang ada. Inilah sebuah proses dimana seorang manusia mengolah atau memproses aksi yang ia sadari.

Konsep lain yang dikemukakan Blumer, masih dengan merujuk pada Mead, adalah konsep tentang konteks social. Dalam sebuah tindakan yang dilakukan oleh kelompok ada sejumlah individu yang melakukan aksi bersama-sama.  Setiap individu di sini melakukan tindakan yang sama dengan individu lainnya dengan menentukan apa yang hendak mereka lakukan dan apa tujuannya. Di sini posisi individu adalah dengan mengambil peran (taking role) ketika ia berada dalam kelompok. Ia akan melakukan tindakannya dengan mendasari pada interpretasi atas apa yang dilakukan oleh orang lain.

Menurut Mead:

“human society is made up of individuals who have selves; that individual actions is a construction and not a release, being built up by the individual through noting and interpreting features of the situations in which he acts; that group or collective action consists of the aligning of individual actions, brought about by the individuals’ interpreting or taking into account each other’s action.” (p.184)

(“Masyarakat manusia dibentuk dari sekumpulan individu yang memiliki dirinya; aksi individual itu adalah konstruksi dan bukan pelepasan, dibentuk oleh individu lewat pengamatan dan interpretasi situasi dimana ia akan bertindak; kelompok tersebtu atau aksi kolektif tadi terdiri dari aksi-aksi individual, yang dibawa dari interpretasi masing-masing individu atau dengan cara memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang lain”)

 

Blumer sendiri mengritik pandangan sejumlah sosiolog pendahulunya yang menaruh posisi individu dalam peranannya di masyarakat. Blumer mengatakan asumsi-asumsi yang menaruh posisi individu di bawah masyarakat tidak menghargai / menghormati aksi yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat, yang ia lakukan lewat proses interpretasi. Bertolak dari pandangan ini, Blumer hendak menekankan bahwa proses interpretasi sebagai bagian dari aksi yang dilakukan individu setelah ia menimbang banyak hal untuk kemudian menunjukkan sikapnya dalam masyarakat, dan sebaliknya ia menolak interpretasi sebagai motif yang mendahului tindakan.

Di sini Blumer menekankan perbedaan signifikan dari interaksionis simbolis. Menurutnya:

“Under the perspective of symbolic interaction, social action is lodged in acting individuals who fit their respective lines of action to one another through a process of interpretation; group action is the collective action of such individuals. As opposed to this view, sociological conceptions generally lodge social action in the action of society or in some unit of society.”  (p.186)

(“Di bawah perspektif interaksionisme simbolis, aksi social berada di bawah aksi-aksi individu yang menyesuaikan aksi mereka dengan orang lain lewat suatu proses interpretasi; aksi kelompok adalah aksi bersama dari sejumlah individu. Sebagai lawan dari pandangan ini, konsepsi sosiologi biasanya menaruh aksi social sebagai bagian dari aksi masyarakat atau sekelompok orang dalam masyarakat.”)

 

Sekarang kita akan beralih ke pandangan dari sosiolog lain yang juga penting disebut dalam sejarah pemikiran dunia, dan nantinya konsepnya juga akan berpengaruh pada pemikiran media atau komunikasi. Anthony Giddens adalah sosiolog Inggris, bekas rector London School of Economics, yang menjadi salah satu pembaharu dunia sosiologi dengan konsepnya soal strukturasi.

Sebelum masuk pada pandangannya soal strukturasi, kita perlu mengetahui dahulu apa yang menjadi latar belakang munculnya teori strukturasi ini, dan Giddens awalnya mengritik pandangan dualisme yang terjadi dalam banyak ilmu social, misalnya juga terkait dengan masalah individu atau struktur yang berperan dalam perubahan social. Dualisme juga bisa terjadi dalam situasi “subyektivisme vs obyektivitisme”, “voluntarisme vs determinisime”, dan lain-lain.

Menurut Giddens akar dualism itu adalah kerancuan dalam melihat obyek dalam ilmu social. Obyek utama ilmu social bukanlah soal peran social (social role), ataupun kode tersembunyi (hidden code) dalam pandangan Levi Strauss dengan strukturalismenya, tetapi justru titik temu antar kedua kutub yang sering diandaikan berseberangan itu: “praktik social yang berulang serta terpola dalam lintas waktu dan ruang”.

Giddens sangat keras menentang fungsionalisme dan kritik Giddens ini terumuskan sebagai berikut:

  • Fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang ada di sekitar kita dan kita bertindak bukan seperti robot yang mengikuti “naskah” / peran yang telah ditentukan
  • Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa system social punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Giddens mengatakan bahwa system social tak punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Yang punya kebutuhan adalah kita para pelakunya.
  • Fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala social. Akibatnya terjadi pertentangan antara static dan dinamik, stabilitas versus perubahan, yang merupakan bentuk dualisme sebagaimana telah dikritik sebelumnya. (Priyono 2002: 10)

 

Dua tema sentral yang menjadi pokok pemikiran Giddens adalah yang menyangkut hubungan antara struktur (structure) dan pelaku (agency), serta masalah sentralitas ruang (space) dan waktu (time). Untuk sementara ini hanya akan dijelaskan yang terkait dengan masalah hubungan antara struktur dan pelaku.

Menurut Giddens yang disebut pelaku adalah orang-orang yang konkrit dalam “arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia”, sementara itu struktur adalah “aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk pengulangan praktik social” (Priyono 2002: 19)

Di sini Giddens memasukkan ide soal “dualitas” antara struktur dan pelaku yang akan menjembatani dan melewati problem dualism yang telah ia kritik. Dualitas di sini merujuk pada hubungan antara struktur dan pelaku yang berproses “dimana struktur social merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik social”. Struktur sejajar dan analog dengan “langue” (yang mengatasi waktu dan ruang), sementara praktik social analog dengan “parole” (dalam waktu dan ruang) Dari prinsip dualitas inilah Giddens membangun teori strukturasinya. (Priyono 2002: 19)

Lebih jauh Giddens juga menyampaikan bahwa dalam diri individu atau pelaku ada proses refleksi yang ia lakukan bukan semata sebagai “kesadaran diri”, tetapi sebagai karakter yang dimonitor dari alur kehidupan social yang terus berjalan. Tindakan manusia di sini bukanlah semata kumpulan dari aksi-aksi manusia, tetapi aksi tersebut dihasilkan dari momen diskursif sebagai sesuatu yang terus berjalan lewat suatu pengalaman. Aksi ini pun tak bisa dipisahkan dari tubuh.

Giddens juga menyebut soal model stratifikasi dari diri yang berperan, dan di dalamnya memasukkan unsur monitor secar refleksif. Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku yang terdiri dari:

  • Motivasi tak sadar (unconscious motives) – menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri
  • Kesadaran praktis (practical consciousness) – gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai
  • Kesadaran diskursif (discursive consciousness) – kapasitas manusia untuk merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita (Giddens 1984: 6-7; Priyono 2002: 28-29)

Kesadaran praktis ini adalah wilayah kepribadian yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge), dan gugus pengetahuan ini juga merupakan “sumber aman ontologis”(ontological security). Kesadaran praktis inilah yang merupakan kunci untuk memahami bagaimana berbagai tindakan dan praktek social kita lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang dan memampukan tindakan / praktek social kita (Priyono 2002: 29)

 

Komentar

Dari bacaan Blumer dan Giddens ini kita bisa mempelajari bahwa di satu sisi Blumer menekankan pentingnya pelaku (actor) dalam suatu praktek social, dimana pelaku memiliki self-indication yang berguna untuk melakukan interpretasi baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Artinya Blumer di sini menekankan otonomi individu di atas struktur social untuk membuat ia bergerak atau berbuat seturut pertimbangannya. Sementara itu dari Giddens kita belajar tidak lagi untuk melakukan dualisme antara pelaku-struktur, namun menerima pemahaman bahwa yang terjadi adalah suatu dualitas dalam tubuh pelaku dan struktur dan itu menghasilkan strukturasi. Strukturasi yang dijabarkan sebagai “praktik social yang berulang serta terpola dalam lintas waktu dan ruang”.

 

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Bagaimana menjelaskan proses strukturasi terjadi antara wartawan generasi lama di Kompas dan Tempo dalam proses digitalisasi di kedua newsroom berbeda tersebut? (data yang diharapkan adalah hasil wawancara dengan generasi wartawan lama – yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun di kompas ataupun tempo – bisa juga mereka yang sudah pensiun)

 

Sumber Rujukan Lain:

Priyono, B. Herry. (2002) Anthony Giddens Suatu Pengantar, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

 

 

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

October 28, 2019

Topic: “Teori Media, dan Cultural Studies”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 29 Oktober 2019)

 

 

Sumber Bacaan:

  1. Stuart Hall, ed. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, London: Sage Publications, 1997
  2. David Morley & Charlotte Brunsdon, The Nationwide Television Studies, Routledge, 1999
  3. Dick Hebdige, Subculture: The Meaning of Style, London: Routledge, 1979

 

 

Cultural studies adalah salah satu cabang ilmu yang penting yang menandai cara melihat media dengan cara berbeda dengan para sarjana yang dari Amerika. Cultural studies sebagai suatu pemikiran mencoba menawarkan cara pandang melihat media dan budaya dengan cara yang berbeda, dengan tidak bertumpu pada proses pengiriman pesan dari pengirim pesan, pesan, channel, penerima dan sejenisnya.

Cultural studies juga adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengembangkan dirinya dari pandangan Marxis namun kemudian dimodifikasi sedemikian untuk tidak jauh pada determinisme ekonomi Marx, dan terutama melihat bagaimana superstructure – dalam bahasa Marx – tidak melulu juga ditentukan oleh ekonomi. Cultural Studies menekankan pada cara pandangnya terhadap kebudayaan tidak dengan melihat budaya para elit yang disebut ‘high culture’ tetapi ia terutama melihat bagaimana kebudayaan dikonsumsi oleh orang kebanyakan, atau kebudayaan populer, yang dulunya sering dikonotasikan sebagai ‘low culture’. Cultural studies tak mengenal dikotomi semacam ini (Turner 1996).

Cultural studies dimulai dengan karya-karya founding fathers seperti Richard Hoggart, EP Thompson dan Raymond Williams, yang kemudian terlembagakan menjadi Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) yang ada di bawah naungan Universitas Birmingham di Inggris. (British) Cultural Studies menjadi makin dikenal dunia dengan tokoh berikutnya: Stuart Hall, yang telah menulis ratusan esai ataupun artikel jurnal. Sosok keturunan Jamaika ini menjadikan Cultural Studies sebagai suatu gerakan / aktivisme. Awalnya Cultural Studies ini menghimpun diri dalam sejumlah kelompok diskusi tematik: subkultur, bahasa dan ideology, studi perempuan, Negara dan media.

Dalam buku yang diedit oleh Stuart Hall, hal ini ditegaskan kembali bahwa kebudayaan secara mudah diartikan sebagai “shared meanings” (makna yang dibagikan), dan kebudayaan di sini dilihat dalam lingkaran yang disebut sebagai sirkuit kebudayaan (circuit of culture). Hal ini ditulis dalam pengantar buku ini.

(gambar circuit of culture dari Hall 1997: 1)

Dalam kajian budaya (cultural studies) bahasa memiliki peran yang penting karena bahasa menjadi medium terpilih dimana kita akan memaknai segala sesuatunya, dimana makna dihasilkan dan dipertukarkan, dan makna ini baru bisa dibagikan jika kita semua memiliki akses yang sama pada bahasa. Darimana bahasa bisa menghasilkan makna? Bahasa bisa beroperasi dalam suatu system representasi, dan dalam bahasa kita menggunakan tanda dan symbol – apakah itu berbentuk suara, tulisan, imaji yang dibuat secara elektronik, benda dan lain-lain.

Budaya sendiri memiliki pengertian atau definisi yang banyak sekali, namun buku ini menawarkan pengertian yang sederhana saja, budaya adalah makna yang dibagikan, dan itu artinya adalah budaya yang dipraktekkan (bukan semata dipikirkan) – yang dipergunakan, yang dimanfaatkan. Hall mengatakannya “it is by our use of things, and what we say, think and feel about them – how we represent them – that we give them a meaning.” (Hall 1997:3)

Bagaimana makna diproduksi? Hall mengatakan bahwa lewat sirkuit budaya yang digambar di atas maka makna diproduksi lewat sejumlah bagian dan disirkulasikan (disebar) lewat beberapa jenis proses juga. “meaning is what gives us a sense of our own identity, of who we are and with whom we ‘belong’ – so it is tied up with questions of how culture is used to mark out and maintain identity within and difference between groups” (Hall 1997:3) Lebih jauh dikatakan oleh Hall: “Meaning is constantly being produced and exchanged in every personal and social interaction in which we take part.” Makna di sini juga bisa dikatakan diproduksi – atau dikonstruksi – ketimbang ditemukan. Dan dengan demikian maka makna mengandung pendekatan konstruksi social.

Karya David Morley & Charlotte Brunsdon ada kaitannya dengan kemunculan CCCS tersebut. Dalam pengantar penerbitan ulang survey Morley dan Brunsdon dikatakan bahwa David Morley adalah mahasiswa tingkat lanjut (graduate studies) berasal dari Universitas Kent sebelum kemudian ia pindah ke CCCS dan pada tahun 1972 ia pun bergabung dengan “Grup Media” yang pada waktu itu beranggotakan: Ian Coennell, Marina de Camargo, Stuart Hall, Rachel Powell dan Janice Winship.

Focus perhatian dari Grup Media saat itu adalah melihat bagaimana peran televisi berita dan program-program akutal dalam melaporkan konflik politik dan industry. Kerangka teoritis kala itu disusun dari pemikiran Marxist, mulai dari Gramsci hingga Louis Althusser, ditambah dengan pemikir lain seperti Rolland Barthes, dan Umberto Eco.

Charlotte Brunsdon melihat program televisi Nationwide terutama dari sisi discoursenya, bagaimana framing yang dilakukan oleh program berita sore BBC tersebut atas berbagai peristiwa di dalam negeri dan di luar negeri. Sementara David Morley lebih melihat bagaimana audience merespon program acara Nationwide tersebut. Dikaitkan dengan pendekatan cultural studies, Brunsdon melihat pada bagaimana produksi pesan dilakukan, dikonstruksi, dan di dalamnya juga masuk unsur ideology, kekuasaan, dan lain-lain, sementara Morley yang meneliti khusus pada audience akan melihat dengan cara berbeda (mengembangkan cara pandang Stuart Hall (1980): “Encoding – Decoding”), dengan mempertimbangkan masalah kelas social, dan menganalisa bagaimana perbedaan ditunjukkan atas dasar pengelompokan social yang dilakukan.

Dick Hebdige dalam bukunya Subculture: The Meaning of Style (1979), memaparkan bahwa sub kultur adalah budaya bawah tanah, budaya yang penuh dengan kerahasiaan, dan sejumlah definisi ini tetap merujuk pada konsep budaya. Nah konsep budaya seperti apa yang dimaksud oleh Hebdige di sini?

Dua pendekatan budaya yang saling bertolak belakang yang dipaparkan Hebdige (1979:6) merujuk pada pengertian High Culture dan Low Culture yang kerap didikotomikan. Pendekatan pertama oleh Arnold merujuk budaya sebagai kegiatan mengapresiasi bentuk astetik klasik seperti opera, ballet, drama, sastra, seni. Sementara itu pendekatan kedua dianut oleh Raymond Williams dan Richard Hoggart pendahlulunya. Mereka berdua lebih memahami kebudayaan sebagai

“… particular way of life which expresses certain meanings and values not only in art and learning, but also in institutions and ordinary behavior. The analysis of culture, from such a definition, is the clarification of the meanings and values implicit and explicit in a particular way of life, a particular culture.” (Williams 1965) – garis miring IH.

Lebih jauh dikatakan bahwa baik Hoggart dan Williams melihat kebudayaan dari kelas pekerja dengan penuh simpati, dan menurut Hoggart fenomena ini adalah fenomena yang menarik untuk diteliti. Ini yang kemudian menjadi premis utama dari kalangan cultural studies:

First, without appreciating good literature, no one will really understand the nature of society, second, literary critical analysis can be applied to certain social phenomena other than ‘academically respectable’ literature (for example, the popular arts, mass communications) so as to illuminate their meanings for individuals and their societies (Hoggart 1966)

 

Dalam perjalanannya, pemikiran yang dikembangkan oleh Rolland Barthes, tak bertentangan dengan apa yang telah dirumuskan oleh para pemikir Cultural Studies. Analisis Barthes yang melakukan kajian semiotika melihat apa-apa yang menjadi keseharian masyarakat. Misalnya ia melakukan analisis terhadap contoh foto yang ada di majalah Paris-Match, seorang prajurit berkulit hitam yang menghormati bendera Perancis. Hasil analisanya gambar itu menggambarkan: 1) gerakan menunjukkan loyalitas, 2) Perancis adalah Negara besar dan semua warganya tanpa ada perbedaan warna kulit, secara setia melayani di bawah bendera Perancis.  Metode Barthes ini kemudian ia aplikasikan dalam system diskursus lainnya seperti fashion, film, makanan, dan lain-lain (Hebdige 1979: 9-10)

Jadi cultural studies berurusan dengan kehidupan sehari-hari yang bisa ditelaah sebagai obyek kajian budaya. Tak perlu ada pembedaan antara high atau low culture, tetapi keduanya dinilai sama. Yang membedakan keduanya nanti adalah masalah ideology sebagaimana nanti bisa dilihat dari sirkuit kebudayaan yang ditampilkan di depan dimana ideology bisa terkait dengan masalah produksi, masalah konsumsi, representasi, serta masalah identitas.

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Apakah Tempo dan Kompas merepresentasikan ideology yang sama? Jika tidak ideology seperti apa yang sesungguhnya dibawa oleh Tempo dan Kompas – dilihat dari berbagai studi yang telah dilakukan terhadap keduanya, maupun dari pendapat / opini yang disampaikan masing-masing terkait dengan proses evolusi digital?

Sumber Rujukan Lain:

Hall, Hall (1980) “Encoding/Decoding”, dalam Stuart Hall, Dorothy Hobson, Andrew Lowe, Paul Willis (eds.) Culture, Media and Language: Working Papers in Cultural Studies 1972-1979, London: Routledge.

Hoggart, Richard (1966) Higher Education and Cultural Change: A Teacher’s View, Earl Grey Memorial Lecture, University of Newcastle.

Turner, Graeme (1996) British Cultural Studies: An Introduction, 2nd ed., London: Routledge.

Williams, Raymond (1965) Long Revolution, Harmondsworth: Penguin.

Sintesis 6 Pertemuan SPT Media

October 22, 2019

REVIEW I KULIAH SEMINAR PERSPEKTIF DAN TEORI MEDIA

October 13, 2019

 

 (untuk 15 Oktober 2019)

Ignatius Haryanto

 

 

SAP no. Topik Bahasan Bahan Bacaan Kutipan Penting Pertanyaan Penelitian
2 Teori Media dan Praktek Nick Couldry, “Theorising Media as Practice”, Social Semiotics Vol. 4, 2004

 

Sarah Pink, et.al, Digital Ethnography: Principles and Practice, Sage, 2016

“media sebagai sekumpulan praktek yang terbuka dan dalam hubungannya dengan media atau yang berorientasi di sekitar media” Couldry (2004:  117)

 

“Refleksivitas  juga terkait dengan bagaimana kita mengajukan pertanyaan yang tepat  dan bagaimana kita memproduksi pengetahuan ini” (Pink 2016: 8)

 

Bagaimana menggunakan pendekatan media praktek dan digital ethnografi dalam melakukan perbandingan atas evolusi digitalisasi dua newsroom (Tempo dan Kompas)?
3 Teori Media, Praktek, dan Sistem Sosial Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Cambridge UP, 1977

 

Michel de Creteau, The Practice of Everyday Life, University of California Press, 1984

“Habitus adalah sistem yang terus menerus, disposisi yang dapat dipertukarkan, struktur yang rapi dan berfungsi sebagai pengatur, prinsip-prinsip yang mengelola praktek-praktek dan representasi yang secara obyektif beradaptasi pada hasilnya tanpa mengasumsikan adanya kesadaran yang bertujuan atau kecakapan yang cepat dari suatu tindakan yang dimaksud untuk mencapainya” (Bourdieu 1990:53)

 

Bagaimana pendekatan habitus dipergunakan dalam melihat para jurnalis sebagai actor di dua newsroom (Tempo & Kompas) dalam proses transformasi digital ?
4 Teori Media dan Teori Sosial David Hesmondhalgh & Jason Toynbee (eds.) The Media and Social Theory, Routledge, 2008

 

Nick Couldry, Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice, Polity Press, 2012

“Untuk menggambarkan dengan lebih baik soal hubungan media dan masyarakat serta dunia, maka diperlukan teori-tori sosial untuk menjawab pertanyaan ontologis di dalamnya, menyangkut apa saja yang kita sebut sebagai ‘sosial’, apa yang ada di dalamnya, bagaimana proses dan hubungan di dalamnya.” (Couldry 2012: x)

 

Bagaimana pendekatan ethnografi dan pendekatan ekonomi politik bisa digunakan untuk menggambarkan lebih dalam proses transformasi digital di dua newsroom (Tempo & Kompas)
5 Teori Media dan Konsumsi Pierre Bourdieu, Distinction: Social Critique of the Judgement of Taste, Harvard UP, 1984

 

Alan Warde, “After Taste: Culture, Consumption, and Theories of Practice”, Journal of Consumer Culture Vol. 14, no.3, 2014

Buat Bourdieu selera (taste) adalah suatu fenomena, yang bisa ditandai, dipelihara dengan adanya batasan-batasan social, antara kelas yang mendominasi dan kelas yang didominasi, atau di dalam kelas itu sendiri. Bourdieu mengatakan bahwa system klasifikasi budaya memiliki akar dalam system kelas social. (Jenkins 1992:89)

 

Bagaimana perihal mengonsumsi makanan populer asal Korea menunjukkan distingsi kelas social di kalangan mahasiswa (studi kasus mahasiswa di pinggiran Jakarta)
6 Teori Media dan Ekonomi Politik David Hesmondhalgh, “Media Industry studies, media production studies”, in J. Curran (ed.) Media and Society, Bloomsbury Academic, 2010

 

Ngai-Ling Sum & Bob Jessop, Towards a Cultural Political Economy: Putting Culture in place in political economy, Edward Elgar Publishing, 2013

 

“Mengintegrasikan pendekatan semiosis  memberikan konsep krusial dan juga alat analisis untuk menginterpretasikan dan menjelaskan yang lebih kuat dari logika akumulasi capital dan hubungannya dengan formasi social dimana ia hadir.”  (Sum & Jessop 2013: viii) Bagaimana menggambarkan proses evolusi yang terjadi pada dua newsroom berbeda (Tempo dan Kompas) dilihat dari pendekatan ekonomi politik serta sosiologi organisasi kebudayaan?

SINTESIS:

Setelah melewati 6 kali pertemuan dari perkuliahan ini, dengan pengecualian pada pembahasan soal Teori Media dan Konsumsi, maka (rencana) penelitian ini hendak: menginvestigasi mengapa ada perbedaan cara pandang, cara kerja, dan cara merespon dari dua newsroom berbeda (Tempo dan Kompas) dalam menyikapi evolusi digital di masing-masing tempat, dengan menekankan bagaimana praktek keseharian (habitus) dilakukan oleh para pekerja media dan para pemimpinnya di masing-masing tempat, struktur kerja serta budaya yang melatari kedua newsroom tersebut. Kultur di sini juga mencakup historisitas dari masing-masing media dan bagaimana perjalanan kedua media ini berhadapan dengan struktur kekuasaan politik yang ada di sekitarnya.

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media, Topic: “Teori Media, dan Ekonomi Politik”

October 7, 2019

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

Topic: “Teori Media, dan Ekonomi Politik”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 8 Oktober 2019)

 

Sumber Bacaan:

  1. Hesmondhalgh, David (2010) “Media industry studies, media production studies”, in J. Curran (ed.) Media and Society, London: Bloomsbury Academic
  2. Sum, N.L. & B. Jessop (2013) Towards a cultural political economy: Putting culture in place in political economy, Edward Elgar Publishing, ZA

 

Review bacaan kali ini mengaitkan antara teori media dengan pendekatan ekonomi politik. Perdebatan ini sebenarnya sudah terjadi lama, minimal topic ini sudah dibahas oleh Nicholas Garnham dan Lawrence Grossberg. Garnham (1998) – artikel aslinya dimuat di jurnal Critical Studies in Mass Communication, March 1995 –  menulis artikel berjudul “Political Economy and Cultural Studies: Reconciliation or Divorce?” yang merespon tulisan dari Jim McGuigan (1992), sementara itu Lawrence Grossberg menulis (1998) – artikel aslinya dimuat di jurnal Critical Studies in Mass Communication, March 1995 – “Cultural Studies vs Political Economy: Is Anyboudy Else Bored with this Debate?”

Nicholas Garnham  ingin menunjukkan bahwa sebenarnya tak perlu dibedakan secara tegas antara (Marxist) political economy dan cultural studies karena yang terjadi sebenarnya hanyalah suatu antagonism. Antagonism ini adalah buah dari salah pengertian dari pendekatan ekonomi politik terhadap proyek cultural studies. Untuk itu Garnham berharap bahwa jembatan harus dibangun kembali antar kedua untuk bisa lebih saling memahami. Garnham menggunakan istilah “reconciliation or divorce” untuk merujuk pada upaya membangun jembatan itu kembali (p.600-601).

Garnham merasa bahwa cultural studies menolak menyebutkan implikasi dari karya-karya yang tetap masuk dalam bentuk subordinasi dan sebenarnya cultural studies tetap berkarya dalam system produksi kapitalis yang awalnya hendak mereka tolak. Garnham merujuk pada karya para founding fathers cultural studies mulai dari Richard Hoggart, Raymond Williams hingga Stuart Hall yang sangat menekankan pada telaah terhadap kalangan kelas buruh atau mereka yang menjadi orang biasa dan mengonsumsi budaya populer (p.603, 606).

Atas tudingan ini, Grossberg merespon dengan mengatakan antara political economy dan cultural studies mereka tak pernah menikah, jadi untuk apa harus rekonsiliasi, karena mereka tak pernah menikah jadi tak pernah pula bercerai. Grossberg menggunakan istilah bahwa keduanya seolah saudara sepupu: mereka punya hubungan, tapi bukan hubungan yang sangat dekat. Mereka saling mengamati dari kejauhan (p.613). Grossberg juga menolak tudingan bahwa analisis cultural studies tak keluar dari moda produksi kapitalis, karena menurutnya cultural studies adalah kritik pada kapitalisme, dan cultural studies juga mempersoalkan tentang kekuasaan, dominasi dan opresi dalam karya-karyanya (p.613). Cultural studies sendiri juga menunjukkan kompleksitas dan kontradiksi yang terjadi dalam budaya, hubungannya dengan manusia, dan juga kekuasaan (p.618)

Satu setengah decade kemudian, topic ini masih juga dibahas dalam dunia akademik, khususnya dalam bidang teori media. Namun penjelasan soal ekonomi politik dan budaya yang ada di dalamnya mengalami perubahan drastic. Hesmondhalgh (2010) menunjukkan bahwa studi tentang produksi media berkembang dengan pesat yang diakibatkan: nature dari industry media yang berkembang pesat sebagai entitas bisnis, dan hal ini menarik baik bagi para akademisi atau pihak media itu sendiri. Hesmondhalgh dalam artikel ini mengulas perbedaan cara pandang dari pendekatan media industries dan media production yang berbeda dalam melihat fenomena media (p.3-4).

Sebelumnya Hesmondhalgh mengurutkan perkembangan industry media dilihat secara serius, dan itu tercermin dari dua pendekatan teori dominan dalam melihat produksi media. Yang pertama adalah berkembang di Amerika dan lahir dari pendekatan sosiologi fungsionalis yang lahir setelah era perang dunia II, dan pendekatan ini menolak pendekatan Marxis. Pendekatan ini  menganalisa berbagai factor yang terkait dengan produksi kebudayaan termasuk mengulas masalah teknologi, hukum dan aturan, struktur industry, organisasi, pembentukan pekerjaan dan pembentukan pasar. Hesmondhalgh menyebutnya sebagai pendekatan “sosiologi kebudayaan organisasional yang mainstream”.

Gelombang kedua adalah pendekatan ekonomi politik media.  Pendekatan ini mencoba untuk memahami dari sisi produksi dan konsumsi symbol dari masyarakat modern, yang juga mempertanyakan masalah keadilan, kekuasaan dan kesetaraan. Tokoh dari pendekatan ini misalnya adalah Graham Murdock dan Peter Golding (p.4-5).

Namun begitu Hesmondhalgh melihat bahwa pendekatan ekonomi politik mengalami stagnansi, dan barulah pada tahun 2000an ia melihat ada sejumlah perkembangan menarik dari ekonomi politik media dan mengalami perubahan signifikan. Yang pertama adalah adanya perkembangan untuk melihat produksi media sebagai bagian dari ekonomi yang saling berkaitan dengan management studies, business studies dan organizational studies . Belakangan pendekatan ini kerap disebut sebagai “creative industries”. Kemudian pendekatan ini juga sejalan dengan pendekatan “cultural policy and arts management studies”. Pendekatan ini tak mempersoalkan isu soal kekuasaan, ataupun ramifikasi politik dari kebudayaan.

Pendekatan kedua, banyak dipengaruhi oleh pendekatan cultural studies. Kalau pendekatan ekonomi politik biasanya berurusan dengan masalah produksi saja, maka cultural studies tak hanya membahas masalah audiens dan teks saja. Banyak pendekatan cultural studies yang membahas masalah produksi juga seperti tampil dalam karya Frith (1981) dan Negus (1992). Pendekatan ini juga dipengaruhi oleh pendekatan post-strukturalis, tertarik dengan pertanyaan yang lebih jauh soal subyektivitas. Pendekatan ini bisa juga disebut sebagai sayap cultural studies dari moda produksi (media) (p.5-6). Atas empat pendekatan berbeda di atas, Hesmondhalgh mencoba mengelaborasi masing-masing pendekatan dilihat dari tiga isu yang ia ajukan: organisasi, kepemilikan, dan masalah kerja.

Jika disederhanakan maka pandangan Hesmondhalgh terkait tiga isu di atas (organisasi, kepemilikan, masalah kerja) jika ditelaah lewat empat pendekatan dalam melihat industry media akan tampak sebagai berikut:

Isu Pendekatan sosiologi fungsionalis Pendekatan ekonomi politik Pendekatan Ekonomi dan Manajemen Pendekatan sosiologi organisasi kebudayaan
Organisasi -) Media menghasilkan produk yang estetis, simbolik, dan ekspresif

 

-) isu soal authorship menjadi penting

 

-) kompleksitas dan kolaborasi dalam produksi datang dari situasi demokrasi yang kuat

-) Media menghasilkan produk yang estetis, simbolik, dan ekspresif

 

-) pemisahan antara kreasi dan sirkulasi penting dilakukan

Tidak terlalu memfokuskan pada status artistic media, tetapi lebih mementingkan tentang kesuksesan komersial yang didapat Industry kebudayaan diorganisir lewat rantai birokrasi, tetapi produksi diorganisir  menurut prinsip ketrampilan

 

-) ada masalah kontrak terkait dengan para pekerja, terutama yang terkait dengan ketrampilan yang digunakan

 

-) ada peran broker di dalamnya

Kepemilikan Tidak terlalu memperhatikan isu ini Isu yang menonjol untuk diperbincangkan menyangkut kepemilikan dan struktur pasar Mendiskusikan isu ini tetapi lebih dekriptif  dan luput mendiskusikan apa dampak dari kondisi ini Tidak terlalu memperhatikan isu ini
Kerja media / buruh industri kebudayaan Tidak memperhatikan isu ini Kurang menampilkan isu ini Mengabaikan isu ini Mengulas tema ini tapi tidak banyak

Pendekatan ekonomi politik yang lain ditawarkan oleh dua orang penulis, Ngai-Ling Sum dan Bob Jessop (2013). Dalam pengantar buku ini disebutkan bahwa buku ini merupakan kesatuan dengan buku sebelumnya yang juga ditulis oleh dua penulis ini, yaitu Beyond the Regulation Approach: Putting Capitalist Economies in their place (2006) dan buku Jessop sebelumnya (1990) State Theory: Putting the Capitalist State in its Place.

Buku ini mau memfokuskan pada dimensi semiotic dari ekonomi politik yang keduanya bisa dilihat sebagai suatu lahan pencarian / penelitian dan sebagai kesatuan dari suatu relasi social. Pendekatan semiois inilah yang ingin dikembangkan dua penulis ini dalam buku tersebut. Menurut Sum dan Jessop “integrating semiosis provides crucial concepts and analytical tools to interpret and explain even more powerfully the logic of capital accumulation and its relation to the social formations in which it is embedded” (p. viii)  Sementara itu budaya di sini didefinisikan sebagai “the ensemble of social processes by which meanings are produced, circulated and exchanged”. Definisi ini menurut Sum dan Jessop menghasilkan overlapping antara budaya dan semiosis, namun tidak mengecilkan arti budaya menjadi semata soal bahasa atau diskursus.

Sum dan Jessop menyebut konsep mereka sebagai CPE (Cultural Political Economy) dan keduanya yakin bahwa CPE dapat dengan produktif mentransformasi pemahaman atas perkembangan yang terjadi dalam ekonomi politik baik sebagai suatu disiplin ilu ataupun sebagai bidang yang berubah dari relasi-relasi social (p. ix). Pendekatan mereka berdua bermula dari Marxisme, yang kemudian dikembangkan juga lewat pendekatan German Historical School, modern heterodox economics, dan analisis Foucault terkait dengan diskursus, teknologi, dan hubungan kekuasaan dan pengetahuan (p. x).

Titik tolak pengamatan Bob Jessop, professor sosiologi di Lancaster University, Inggris, adalah berawal dari proyek jangka panjangnya untuk memahami kondisi Negara Inggris dan ia merasa tidak puas dengan pendekatan teoritis yang ada pada tahun 1970-an. Jessop mengembangkan apa yang disebut sebagai “strategic-relational approach” lewat pembacaannya terhadap teori hokum dan Negara Jerman, kemudian juga pembacaannya terhadap Nicos Poulantzas, karya Antonio Gramsci – khususnya adalah Prison Notebooks – dan juga telaah kritis terhadap Louis Althusser (p. x).

Sementara itu titik tolak dari Ngai-Ling Sum adalah pada Negara Hong Kong sebagai formasi social colonial, dan juga kritik terhadap pendekatan teoritis yang terpusat pada Barat dalam kajian ekonomi politik. Sum adalah dosen senior di Departemen Politik, Filsafat dan Agama, Universitas Lancaster, Inggris. Sum juga mengikuti karya-karya Marx, Gramsci, Foucault, dan secara khusus ia mengamati bagaimana proses transfer kekuasaan yang terjadi di Hong Kong kepada Cina, dan ia pun menjadi terjadi dengan Critical Discourse Analysis (p. x-xi).

Cultural Political Econony (CPE) adalah pendekatan transdisiplin yang baru dan masih berkembang, dan berorientasi pada pendekatan post-disciplinary. CPE memiliki perhatian dengan semiotic dan aspek structural dari kehidupan social, dan juga artikulasinya. CPE memadukan pendekatan dari sejarah, pemikiran kritis, analisis semiotic, dan pendekatan ekonomi politik yang evolusioner kritis dan institusional. Dalam konteks ini CPE merujuk pada perkembangan grand theory dan pada studi empiris yang masih terus berkembang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa CPE mengkombinasikan analisis dari perasaan – dan makna – dengan analisis ekonomi yang terlembagakan, serta relasi politik dan keterikatan sosialnya (p. 1). Dapat juga dikatakan bahwa CPE bertujuan untuk menghasilkan analisis integrasl secara konsisten dari ekonomi politik dari perspektif interaksi dari semiotic yang spesifik da gambaran structural pada saat yang sama, dan analisis ini melekat dengan pendekatan semiosis dan strukturasi dalam formasi social yang lebih luas.

Sum dan Jessop (p. 2) menggambarkan sebuah box untuk memberikan gambaran tentang CPE sebagai bagian dari perkembangan ilmu-ilmu social:

  • Kompleksitas dan Penyederhanaannya lewat semiosis dan strukturasi
  • Dimensi intransitive dan dimensi transitive yang berinteraksi dalam penelaahan saintifik
  • Penelitian yang berorientasi logika pluralistic, presentasi yang berorientasi logis historis
  • Komitmen pada kritik ideology dan dominasi

Selain itu Sum dan Jessop (p. 23) pun menggambarkan enam pembeda dari pendekatan CPE:

  1. Pendekatannya berlandaskan perubahan budaya (cultural turn) dalam ekonomi politik dari kebutuhan yang tampak dari penyederhanaan yang kompleks
  2. Pendekatan ini menekankan dari fungsi mekanisme evolusioner dalam melihat pergerakan dari social construal menuju ke social construction dan bagaimana implikasinya untuk memprodukis dominasi dan hegemoni
  3. Pendekatan ini memiliki perhatian dengan keterkaitan dan co-evolution dari semiotic dan ekstra semiotic dimana co-evolution termediasi
  4. Pendekatan ini memadukan antara individu, organisasi dan pembelajaran masyarakat sebagai respon terhadap ‘masalah’ atau ‘krisis’ ke dalam dialektika dari semiosis dan strukturasi dan merupakan perpanjangan dari path-shaping dan path-depedency
  5. Pendekatan ini menekankan empat model seleksi: structural, diskursif, konsolidasi teknologi serta agen (dalam pandangan Foucault), dan kontestasi hegemoni dan dominasi dalam menyusun kembali relasi social
  6. Pendekatan ini menekankan fungsi sebagai kritik ideology dan kritik dari bentuk dominasi yang spesifik.

 

Dari dua literature di atas kita melihat bahwa pendekatan ekonomi politik dalam melihat media berkembang dengan pesat, berkembang dengan memasukkan banyak warna lain dalam kajian / penelitiannya, mulai dari memasukkan pemikiran Gramsci, Foucault, Marx, juga semiosis, serta pendekatan Critical Discourse Analysis yang diangkat oleh Norman Fairclough sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Sum dan Jessop, namun kita juga melihat bahwa Hesmondhalgh juga menampilkan variasi yang berbeda dalam melihat ekonomi politik dan cultural studies. Pendekatan-pendekatan baru ini memberikan selain menawarkan keragaman warna, juga menawarkan cara pandang yang lebih dalam, lebih detil dalam melihat fenomena, dan pada saat melihat fenomena ini ternyata suatu cara pandang saja (dalam hal ini pendekatan ekonomi politik) tak cukup melihat kompleksitas di dalamnya. Untuk itu pendekatan ekonomi politik dibantu oleh bidang-bidang atau disiplin-disiplin ilmu lain untuk menunjukkan kekayaan hasil analisanya.

Pertanyaan Penelitian:

*) Bagaimana menggambarkan proses evolusi yang terjadi dalam dua newsroom berbeda: Tempo dan Kompas, dilihat dari pendekatan ekonomi politik serta sosiologi organisasi kebudayaan?

 

Sumber Rujukan Lain:

Garnham, Nicholas (1998)“Political Economy and Cultural Studies: Reconciliation or Divorce?” in John Storey, Cultural Theory and Popular Culture: A Reader (2nd ed.), Athens: University of Georgia Press.

Grossberg, Lawrence (1998) “Cultural Studies vs Political Economy: Is Anyboudy Else Bored with this Debate?”, in in John Storey, Cultural Theory and Popular Culture: A Reader (2nd ed.), Athens: University of Georgia Press.

McGuigan, Jim (1992) Cultural Populism, London: Routledge.