Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media, Topic: “Teori Media, dan Ekonomi Politik”

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

Topic: “Teori Media, dan Ekonomi Politik”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 8 Oktober 2019)

 

Sumber Bacaan:

  1. Hesmondhalgh, David (2010) “Media industry studies, media production studies”, in J. Curran (ed.) Media and Society, London: Bloomsbury Academic
  2. Sum, N.L. & B. Jessop (2013) Towards a cultural political economy: Putting culture in place in political economy, Edward Elgar Publishing, ZA

 

Review bacaan kali ini mengaitkan antara teori media dengan pendekatan ekonomi politik. Perdebatan ini sebenarnya sudah terjadi lama, minimal topic ini sudah dibahas oleh Nicholas Garnham dan Lawrence Grossberg. Garnham (1998) – artikel aslinya dimuat di jurnal Critical Studies in Mass Communication, March 1995 –  menulis artikel berjudul “Political Economy and Cultural Studies: Reconciliation or Divorce?” yang merespon tulisan dari Jim McGuigan (1992), sementara itu Lawrence Grossberg menulis (1998) – artikel aslinya dimuat di jurnal Critical Studies in Mass Communication, March 1995 – “Cultural Studies vs Political Economy: Is Anyboudy Else Bored with this Debate?”

Nicholas Garnham  ingin menunjukkan bahwa sebenarnya tak perlu dibedakan secara tegas antara (Marxist) political economy dan cultural studies karena yang terjadi sebenarnya hanyalah suatu antagonism. Antagonism ini adalah buah dari salah pengertian dari pendekatan ekonomi politik terhadap proyek cultural studies. Untuk itu Garnham berharap bahwa jembatan harus dibangun kembali antar kedua untuk bisa lebih saling memahami. Garnham menggunakan istilah “reconciliation or divorce” untuk merujuk pada upaya membangun jembatan itu kembali (p.600-601).

Garnham merasa bahwa cultural studies menolak menyebutkan implikasi dari karya-karya yang tetap masuk dalam bentuk subordinasi dan sebenarnya cultural studies tetap berkarya dalam system produksi kapitalis yang awalnya hendak mereka tolak. Garnham merujuk pada karya para founding fathers cultural studies mulai dari Richard Hoggart, Raymond Williams hingga Stuart Hall yang sangat menekankan pada telaah terhadap kalangan kelas buruh atau mereka yang menjadi orang biasa dan mengonsumsi budaya populer (p.603, 606).

Atas tudingan ini, Grossberg merespon dengan mengatakan antara political economy dan cultural studies mereka tak pernah menikah, jadi untuk apa harus rekonsiliasi, karena mereka tak pernah menikah jadi tak pernah pula bercerai. Grossberg menggunakan istilah bahwa keduanya seolah saudara sepupu: mereka punya hubungan, tapi bukan hubungan yang sangat dekat. Mereka saling mengamati dari kejauhan (p.613). Grossberg juga menolak tudingan bahwa analisis cultural studies tak keluar dari moda produksi kapitalis, karena menurutnya cultural studies adalah kritik pada kapitalisme, dan cultural studies juga mempersoalkan tentang kekuasaan, dominasi dan opresi dalam karya-karyanya (p.613). Cultural studies sendiri juga menunjukkan kompleksitas dan kontradiksi yang terjadi dalam budaya, hubungannya dengan manusia, dan juga kekuasaan (p.618)

Satu setengah decade kemudian, topic ini masih juga dibahas dalam dunia akademik, khususnya dalam bidang teori media. Namun penjelasan soal ekonomi politik dan budaya yang ada di dalamnya mengalami perubahan drastic. Hesmondhalgh (2010) menunjukkan bahwa studi tentang produksi media berkembang dengan pesat yang diakibatkan: nature dari industry media yang berkembang pesat sebagai entitas bisnis, dan hal ini menarik baik bagi para akademisi atau pihak media itu sendiri. Hesmondhalgh dalam artikel ini mengulas perbedaan cara pandang dari pendekatan media industries dan media production yang berbeda dalam melihat fenomena media (p.3-4).

Sebelumnya Hesmondhalgh mengurutkan perkembangan industry media dilihat secara serius, dan itu tercermin dari dua pendekatan teori dominan dalam melihat produksi media. Yang pertama adalah berkembang di Amerika dan lahir dari pendekatan sosiologi fungsionalis yang lahir setelah era perang dunia II, dan pendekatan ini menolak pendekatan Marxis. Pendekatan ini  menganalisa berbagai factor yang terkait dengan produksi kebudayaan termasuk mengulas masalah teknologi, hukum dan aturan, struktur industry, organisasi, pembentukan pekerjaan dan pembentukan pasar. Hesmondhalgh menyebutnya sebagai pendekatan “sosiologi kebudayaan organisasional yang mainstream”.

Gelombang kedua adalah pendekatan ekonomi politik media.  Pendekatan ini mencoba untuk memahami dari sisi produksi dan konsumsi symbol dari masyarakat modern, yang juga mempertanyakan masalah keadilan, kekuasaan dan kesetaraan. Tokoh dari pendekatan ini misalnya adalah Graham Murdock dan Peter Golding (p.4-5).

Namun begitu Hesmondhalgh melihat bahwa pendekatan ekonomi politik mengalami stagnansi, dan barulah pada tahun 2000an ia melihat ada sejumlah perkembangan menarik dari ekonomi politik media dan mengalami perubahan signifikan. Yang pertama adalah adanya perkembangan untuk melihat produksi media sebagai bagian dari ekonomi yang saling berkaitan dengan management studies, business studies dan organizational studies . Belakangan pendekatan ini kerap disebut sebagai “creative industries”. Kemudian pendekatan ini juga sejalan dengan pendekatan “cultural policy and arts management studies”. Pendekatan ini tak mempersoalkan isu soal kekuasaan, ataupun ramifikasi politik dari kebudayaan.

Pendekatan kedua, banyak dipengaruhi oleh pendekatan cultural studies. Kalau pendekatan ekonomi politik biasanya berurusan dengan masalah produksi saja, maka cultural studies tak hanya membahas masalah audiens dan teks saja. Banyak pendekatan cultural studies yang membahas masalah produksi juga seperti tampil dalam karya Frith (1981) dan Negus (1992). Pendekatan ini juga dipengaruhi oleh pendekatan post-strukturalis, tertarik dengan pertanyaan yang lebih jauh soal subyektivitas. Pendekatan ini bisa juga disebut sebagai sayap cultural studies dari moda produksi (media) (p.5-6). Atas empat pendekatan berbeda di atas, Hesmondhalgh mencoba mengelaborasi masing-masing pendekatan dilihat dari tiga isu yang ia ajukan: organisasi, kepemilikan, dan masalah kerja.

Jika disederhanakan maka pandangan Hesmondhalgh terkait tiga isu di atas (organisasi, kepemilikan, masalah kerja) jika ditelaah lewat empat pendekatan dalam melihat industry media akan tampak sebagai berikut:

Isu Pendekatan sosiologi fungsionalis Pendekatan ekonomi politik Pendekatan Ekonomi dan Manajemen Pendekatan sosiologi organisasi kebudayaan
Organisasi -) Media menghasilkan produk yang estetis, simbolik, dan ekspresif

 

-) isu soal authorship menjadi penting

 

-) kompleksitas dan kolaborasi dalam produksi datang dari situasi demokrasi yang kuat

-) Media menghasilkan produk yang estetis, simbolik, dan ekspresif

 

-) pemisahan antara kreasi dan sirkulasi penting dilakukan

Tidak terlalu memfokuskan pada status artistic media, tetapi lebih mementingkan tentang kesuksesan komersial yang didapat Industry kebudayaan diorganisir lewat rantai birokrasi, tetapi produksi diorganisir  menurut prinsip ketrampilan

 

-) ada masalah kontrak terkait dengan para pekerja, terutama yang terkait dengan ketrampilan yang digunakan

 

-) ada peran broker di dalamnya

Kepemilikan Tidak terlalu memperhatikan isu ini Isu yang menonjol untuk diperbincangkan menyangkut kepemilikan dan struktur pasar Mendiskusikan isu ini tetapi lebih dekriptif  dan luput mendiskusikan apa dampak dari kondisi ini Tidak terlalu memperhatikan isu ini
Kerja media / buruh industri kebudayaan Tidak memperhatikan isu ini Kurang menampilkan isu ini Mengabaikan isu ini Mengulas tema ini tapi tidak banyak

Pendekatan ekonomi politik yang lain ditawarkan oleh dua orang penulis, Ngai-Ling Sum dan Bob Jessop (2013). Dalam pengantar buku ini disebutkan bahwa buku ini merupakan kesatuan dengan buku sebelumnya yang juga ditulis oleh dua penulis ini, yaitu Beyond the Regulation Approach: Putting Capitalist Economies in their place (2006) dan buku Jessop sebelumnya (1990) State Theory: Putting the Capitalist State in its Place.

Buku ini mau memfokuskan pada dimensi semiotic dari ekonomi politik yang keduanya bisa dilihat sebagai suatu lahan pencarian / penelitian dan sebagai kesatuan dari suatu relasi social. Pendekatan semiois inilah yang ingin dikembangkan dua penulis ini dalam buku tersebut. Menurut Sum dan Jessop “integrating semiosis provides crucial concepts and analytical tools to interpret and explain even more powerfully the logic of capital accumulation and its relation to the social formations in which it is embedded” (p. viii)  Sementara itu budaya di sini didefinisikan sebagai “the ensemble of social processes by which meanings are produced, circulated and exchanged”. Definisi ini menurut Sum dan Jessop menghasilkan overlapping antara budaya dan semiosis, namun tidak mengecilkan arti budaya menjadi semata soal bahasa atau diskursus.

Sum dan Jessop menyebut konsep mereka sebagai CPE (Cultural Political Economy) dan keduanya yakin bahwa CPE dapat dengan produktif mentransformasi pemahaman atas perkembangan yang terjadi dalam ekonomi politik baik sebagai suatu disiplin ilu ataupun sebagai bidang yang berubah dari relasi-relasi social (p. ix). Pendekatan mereka berdua bermula dari Marxisme, yang kemudian dikembangkan juga lewat pendekatan German Historical School, modern heterodox economics, dan analisis Foucault terkait dengan diskursus, teknologi, dan hubungan kekuasaan dan pengetahuan (p. x).

Titik tolak pengamatan Bob Jessop, professor sosiologi di Lancaster University, Inggris, adalah berawal dari proyek jangka panjangnya untuk memahami kondisi Negara Inggris dan ia merasa tidak puas dengan pendekatan teoritis yang ada pada tahun 1970-an. Jessop mengembangkan apa yang disebut sebagai “strategic-relational approach” lewat pembacaannya terhadap teori hokum dan Negara Jerman, kemudian juga pembacaannya terhadap Nicos Poulantzas, karya Antonio Gramsci – khususnya adalah Prison Notebooks – dan juga telaah kritis terhadap Louis Althusser (p. x).

Sementara itu titik tolak dari Ngai-Ling Sum adalah pada Negara Hong Kong sebagai formasi social colonial, dan juga kritik terhadap pendekatan teoritis yang terpusat pada Barat dalam kajian ekonomi politik. Sum adalah dosen senior di Departemen Politik, Filsafat dan Agama, Universitas Lancaster, Inggris. Sum juga mengikuti karya-karya Marx, Gramsci, Foucault, dan secara khusus ia mengamati bagaimana proses transfer kekuasaan yang terjadi di Hong Kong kepada Cina, dan ia pun menjadi terjadi dengan Critical Discourse Analysis (p. x-xi).

Cultural Political Econony (CPE) adalah pendekatan transdisiplin yang baru dan masih berkembang, dan berorientasi pada pendekatan post-disciplinary. CPE memiliki perhatian dengan semiotic dan aspek structural dari kehidupan social, dan juga artikulasinya. CPE memadukan pendekatan dari sejarah, pemikiran kritis, analisis semiotic, dan pendekatan ekonomi politik yang evolusioner kritis dan institusional. Dalam konteks ini CPE merujuk pada perkembangan grand theory dan pada studi empiris yang masih terus berkembang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa CPE mengkombinasikan analisis dari perasaan – dan makna – dengan analisis ekonomi yang terlembagakan, serta relasi politik dan keterikatan sosialnya (p. 1). Dapat juga dikatakan bahwa CPE bertujuan untuk menghasilkan analisis integrasl secara konsisten dari ekonomi politik dari perspektif interaksi dari semiotic yang spesifik da gambaran structural pada saat yang sama, dan analisis ini melekat dengan pendekatan semiosis dan strukturasi dalam formasi social yang lebih luas.

Sum dan Jessop (p. 2) menggambarkan sebuah box untuk memberikan gambaran tentang CPE sebagai bagian dari perkembangan ilmu-ilmu social:

  • Kompleksitas dan Penyederhanaannya lewat semiosis dan strukturasi
  • Dimensi intransitive dan dimensi transitive yang berinteraksi dalam penelaahan saintifik
  • Penelitian yang berorientasi logika pluralistic, presentasi yang berorientasi logis historis
  • Komitmen pada kritik ideology dan dominasi

Selain itu Sum dan Jessop (p. 23) pun menggambarkan enam pembeda dari pendekatan CPE:

  1. Pendekatannya berlandaskan perubahan budaya (cultural turn) dalam ekonomi politik dari kebutuhan yang tampak dari penyederhanaan yang kompleks
  2. Pendekatan ini menekankan dari fungsi mekanisme evolusioner dalam melihat pergerakan dari social construal menuju ke social construction dan bagaimana implikasinya untuk memprodukis dominasi dan hegemoni
  3. Pendekatan ini memiliki perhatian dengan keterkaitan dan co-evolution dari semiotic dan ekstra semiotic dimana co-evolution termediasi
  4. Pendekatan ini memadukan antara individu, organisasi dan pembelajaran masyarakat sebagai respon terhadap ‘masalah’ atau ‘krisis’ ke dalam dialektika dari semiosis dan strukturasi dan merupakan perpanjangan dari path-shaping dan path-depedency
  5. Pendekatan ini menekankan empat model seleksi: structural, diskursif, konsolidasi teknologi serta agen (dalam pandangan Foucault), dan kontestasi hegemoni dan dominasi dalam menyusun kembali relasi social
  6. Pendekatan ini menekankan fungsi sebagai kritik ideology dan kritik dari bentuk dominasi yang spesifik.

 

Dari dua literature di atas kita melihat bahwa pendekatan ekonomi politik dalam melihat media berkembang dengan pesat, berkembang dengan memasukkan banyak warna lain dalam kajian / penelitiannya, mulai dari memasukkan pemikiran Gramsci, Foucault, Marx, juga semiosis, serta pendekatan Critical Discourse Analysis yang diangkat oleh Norman Fairclough sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Sum dan Jessop, namun kita juga melihat bahwa Hesmondhalgh juga menampilkan variasi yang berbeda dalam melihat ekonomi politik dan cultural studies. Pendekatan-pendekatan baru ini memberikan selain menawarkan keragaman warna, juga menawarkan cara pandang yang lebih dalam, lebih detil dalam melihat fenomena, dan pada saat melihat fenomena ini ternyata suatu cara pandang saja (dalam hal ini pendekatan ekonomi politik) tak cukup melihat kompleksitas di dalamnya. Untuk itu pendekatan ekonomi politik dibantu oleh bidang-bidang atau disiplin-disiplin ilmu lain untuk menunjukkan kekayaan hasil analisanya.

Pertanyaan Penelitian:

*) Bagaimana menggambarkan proses evolusi yang terjadi dalam dua newsroom berbeda: Tempo dan Kompas, dilihat dari pendekatan ekonomi politik serta sosiologi organisasi kebudayaan?

 

Sumber Rujukan Lain:

Garnham, Nicholas (1998)“Political Economy and Cultural Studies: Reconciliation or Divorce?” in John Storey, Cultural Theory and Popular Culture: A Reader (2nd ed.), Athens: University of Georgia Press.

Grossberg, Lawrence (1998) “Cultural Studies vs Political Economy: Is Anyboudy Else Bored with this Debate?”, in in John Storey, Cultural Theory and Popular Culture: A Reader (2nd ed.), Athens: University of Georgia Press.

McGuigan, Jim (1992) Cultural Populism, London: Routledge.

 

Leave a comment