Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

Topic: “Teori Media, dan Cultural Studies”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 29 Oktober 2019)

 

 

Sumber Bacaan:

  1. Stuart Hall, ed. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, London: Sage Publications, 1997
  2. David Morley & Charlotte Brunsdon, The Nationwide Television Studies, Routledge, 1999
  3. Dick Hebdige, Subculture: The Meaning of Style, London: Routledge, 1979

 

 

Cultural studies adalah salah satu cabang ilmu yang penting yang menandai cara melihat media dengan cara berbeda dengan para sarjana yang dari Amerika. Cultural studies sebagai suatu pemikiran mencoba menawarkan cara pandang melihat media dan budaya dengan cara yang berbeda, dengan tidak bertumpu pada proses pengiriman pesan dari pengirim pesan, pesan, channel, penerima dan sejenisnya.

Cultural studies juga adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengembangkan dirinya dari pandangan Marxis namun kemudian dimodifikasi sedemikian untuk tidak jauh pada determinisme ekonomi Marx, dan terutama melihat bagaimana superstructure – dalam bahasa Marx – tidak melulu juga ditentukan oleh ekonomi. Cultural Studies menekankan pada cara pandangnya terhadap kebudayaan tidak dengan melihat budaya para elit yang disebut ‘high culture’ tetapi ia terutama melihat bagaimana kebudayaan dikonsumsi oleh orang kebanyakan, atau kebudayaan populer, yang dulunya sering dikonotasikan sebagai ‘low culture’. Cultural studies tak mengenal dikotomi semacam ini (Turner 1996).

Cultural studies dimulai dengan karya-karya founding fathers seperti Richard Hoggart, EP Thompson dan Raymond Williams, yang kemudian terlembagakan menjadi Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) yang ada di bawah naungan Universitas Birmingham di Inggris. (British) Cultural Studies menjadi makin dikenal dunia dengan tokoh berikutnya: Stuart Hall, yang telah menulis ratusan esai ataupun artikel jurnal. Sosok keturunan Jamaika ini menjadikan Cultural Studies sebagai suatu gerakan / aktivisme. Awalnya Cultural Studies ini menghimpun diri dalam sejumlah kelompok diskusi tematik: subkultur, bahasa dan ideology, studi perempuan, Negara dan media.

Dalam buku yang diedit oleh Stuart Hall, hal ini ditegaskan kembali bahwa kebudayaan secara mudah diartikan sebagai “shared meanings” (makna yang dibagikan), dan kebudayaan di sini dilihat dalam lingkaran yang disebut sebagai sirkuit kebudayaan (circuit of culture). Hal ini ditulis dalam pengantar buku ini.

(gambar circuit of culture dari Hall 1997: 1)

Dalam kajian budaya (cultural studies) bahasa memiliki peran yang penting karena bahasa menjadi medium terpilih dimana kita akan memaknai segala sesuatunya, dimana makna dihasilkan dan dipertukarkan, dan makna ini baru bisa dibagikan jika kita semua memiliki akses yang sama pada bahasa. Darimana bahasa bisa menghasilkan makna? Bahasa bisa beroperasi dalam suatu system representasi, dan dalam bahasa kita menggunakan tanda dan symbol – apakah itu berbentuk suara, tulisan, imaji yang dibuat secara elektronik, benda dan lain-lain.

Budaya sendiri memiliki pengertian atau definisi yang banyak sekali, namun buku ini menawarkan pengertian yang sederhana saja, budaya adalah makna yang dibagikan, dan itu artinya adalah budaya yang dipraktekkan (bukan semata dipikirkan) – yang dipergunakan, yang dimanfaatkan. Hall mengatakannya “it is by our use of things, and what we say, think and feel about them – how we represent them – that we give them a meaning.” (Hall 1997:3)

Bagaimana makna diproduksi? Hall mengatakan bahwa lewat sirkuit budaya yang digambar di atas maka makna diproduksi lewat sejumlah bagian dan disirkulasikan (disebar) lewat beberapa jenis proses juga. “meaning is what gives us a sense of our own identity, of who we are and with whom we ‘belong’ – so it is tied up with questions of how culture is used to mark out and maintain identity within and difference between groups” (Hall 1997:3) Lebih jauh dikatakan oleh Hall: “Meaning is constantly being produced and exchanged in every personal and social interaction in which we take part.” Makna di sini juga bisa dikatakan diproduksi – atau dikonstruksi – ketimbang ditemukan. Dan dengan demikian maka makna mengandung pendekatan konstruksi social.

Karya David Morley & Charlotte Brunsdon ada kaitannya dengan kemunculan CCCS tersebut. Dalam pengantar penerbitan ulang survey Morley dan Brunsdon dikatakan bahwa David Morley adalah mahasiswa tingkat lanjut (graduate studies) berasal dari Universitas Kent sebelum kemudian ia pindah ke CCCS dan pada tahun 1972 ia pun bergabung dengan “Grup Media” yang pada waktu itu beranggotakan: Ian Coennell, Marina de Camargo, Stuart Hall, Rachel Powell dan Janice Winship.

Focus perhatian dari Grup Media saat itu adalah melihat bagaimana peran televisi berita dan program-program akutal dalam melaporkan konflik politik dan industry. Kerangka teoritis kala itu disusun dari pemikiran Marxist, mulai dari Gramsci hingga Louis Althusser, ditambah dengan pemikir lain seperti Rolland Barthes, dan Umberto Eco.

Charlotte Brunsdon melihat program televisi Nationwide terutama dari sisi discoursenya, bagaimana framing yang dilakukan oleh program berita sore BBC tersebut atas berbagai peristiwa di dalam negeri dan di luar negeri. Sementara David Morley lebih melihat bagaimana audience merespon program acara Nationwide tersebut. Dikaitkan dengan pendekatan cultural studies, Brunsdon melihat pada bagaimana produksi pesan dilakukan, dikonstruksi, dan di dalamnya juga masuk unsur ideology, kekuasaan, dan lain-lain, sementara Morley yang meneliti khusus pada audience akan melihat dengan cara berbeda (mengembangkan cara pandang Stuart Hall (1980): “Encoding – Decoding”), dengan mempertimbangkan masalah kelas social, dan menganalisa bagaimana perbedaan ditunjukkan atas dasar pengelompokan social yang dilakukan.

Dick Hebdige dalam bukunya Subculture: The Meaning of Style (1979), memaparkan bahwa sub kultur adalah budaya bawah tanah, budaya yang penuh dengan kerahasiaan, dan sejumlah definisi ini tetap merujuk pada konsep budaya. Nah konsep budaya seperti apa yang dimaksud oleh Hebdige di sini?

Dua pendekatan budaya yang saling bertolak belakang yang dipaparkan Hebdige (1979:6) merujuk pada pengertian High Culture dan Low Culture yang kerap didikotomikan. Pendekatan pertama oleh Arnold merujuk budaya sebagai kegiatan mengapresiasi bentuk astetik klasik seperti opera, ballet, drama, sastra, seni. Sementara itu pendekatan kedua dianut oleh Raymond Williams dan Richard Hoggart pendahlulunya. Mereka berdua lebih memahami kebudayaan sebagai

“… particular way of life which expresses certain meanings and values not only in art and learning, but also in institutions and ordinary behavior. The analysis of culture, from such a definition, is the clarification of the meanings and values implicit and explicit in a particular way of life, a particular culture.” (Williams 1965) – garis miring IH.

Lebih jauh dikatakan bahwa baik Hoggart dan Williams melihat kebudayaan dari kelas pekerja dengan penuh simpati, dan menurut Hoggart fenomena ini adalah fenomena yang menarik untuk diteliti. Ini yang kemudian menjadi premis utama dari kalangan cultural studies:

First, without appreciating good literature, no one will really understand the nature of society, second, literary critical analysis can be applied to certain social phenomena other than ‘academically respectable’ literature (for example, the popular arts, mass communications) so as to illuminate their meanings for individuals and their societies (Hoggart 1966)

 

Dalam perjalanannya, pemikiran yang dikembangkan oleh Rolland Barthes, tak bertentangan dengan apa yang telah dirumuskan oleh para pemikir Cultural Studies. Analisis Barthes yang melakukan kajian semiotika melihat apa-apa yang menjadi keseharian masyarakat. Misalnya ia melakukan analisis terhadap contoh foto yang ada di majalah Paris-Match, seorang prajurit berkulit hitam yang menghormati bendera Perancis. Hasil analisanya gambar itu menggambarkan: 1) gerakan menunjukkan loyalitas, 2) Perancis adalah Negara besar dan semua warganya tanpa ada perbedaan warna kulit, secara setia melayani di bawah bendera Perancis.  Metode Barthes ini kemudian ia aplikasikan dalam system diskursus lainnya seperti fashion, film, makanan, dan lain-lain (Hebdige 1979: 9-10)

Jadi cultural studies berurusan dengan kehidupan sehari-hari yang bisa ditelaah sebagai obyek kajian budaya. Tak perlu ada pembedaan antara high atau low culture, tetapi keduanya dinilai sama. Yang membedakan keduanya nanti adalah masalah ideology sebagaimana nanti bisa dilihat dari sirkuit kebudayaan yang ditampilkan di depan dimana ideology bisa terkait dengan masalah produksi, masalah konsumsi, representasi, serta masalah identitas.

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Apakah Tempo dan Kompas merepresentasikan ideology yang sama? Jika tidak ideology seperti apa yang sesungguhnya dibawa oleh Tempo dan Kompas – dilihat dari berbagai studi yang telah dilakukan terhadap keduanya, maupun dari pendapat / opini yang disampaikan masing-masing terkait dengan proses evolusi digital?

Sumber Rujukan Lain:

Hall, Hall (1980) “Encoding/Decoding”, dalam Stuart Hall, Dorothy Hobson, Andrew Lowe, Paul Willis (eds.) Culture, Media and Language: Working Papers in Cultural Studies 1972-1979, London: Routledge.

Hoggart, Richard (1966) Higher Education and Cultural Change: A Teacher’s View, Earl Grey Memorial Lecture, University of Newcastle.

Turner, Graeme (1996) British Cultural Studies: An Introduction, 2nd ed., London: Routledge.

Williams, Raymond (1965) Long Revolution, Harmondsworth: Penguin.

Leave a comment