Topik: “Teori Modernitas dan Postmodernitas”
Review Oleh Ignatius Haryanto
(untuk tanggal 26 November 2019)
Sumber Bacaan:
- Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology Press, 1994 (seventh printing 1998)
- Jim McGuigan, Modernity and Postmodern Culture, Berkshire: Open University Press, 2006
Marshall McLuhan adalah salah seorang teoritisi media awal yang telah menuliskan pandangan-pandangannya antara tahun 1960-1970an. Ia dikenal dengan buku-bukunya seperti Guttenberg Galaxy, Understanding Media: Extensions of Man, Medium is the Message. McLuhan dapat dikatakan sebagai teoritisi media yang menandai masa modern dengan kemunculan televisi yang perlahan-lahan menggantikan posisi dari media cetak yang telah lebih dulu ada.
Dengan mengatakan “medium is the message”, McLuhan mengatakan bahwa ada konsekuensi personal dan social dari kedatangan / kemunculan suatu medium, dan hal ini merupakan perluasan / perpanjangan / kepanjangan dari diri manusia. Otomatisasi yang banyak muncul pada tahun-tahun tersebut memberi dampak positif dan negative bagi kehidupan manusia: yang negative adalah otomatisasi membuat manusia kehilangan pekerjaan, tetapi sebaliknya otomatisasi memberikan peran bagi manusia dalam keterlibatan yang lebih jauh dalam pekerjaannya, dan hubungan antar manusia yang ada di dalamnya. (p. 7)
Medium is the message juga berarti medium-lah yang menggeser dan mengontrol skala dan bentuk perkumpulan manusia dan aksinya. McLuhan di sini melihat bahwa studi tentang media tak Cuma menekankan masalah “content” tapi juga pada “medium” dan juga “cultural matrix” dimana medium tersebut beroperasi (p. 11). Mc Luhan juga menekankan di sini bahwa produk dari ilmu pengetahuan modern adalah netral: tidak baik ataupun tidak buruk, tergantung dengan bagaimana ia diperlakukan atau dipergunakan, yang akan menentukan nilainya. (p. 11)
Pernyataan lain dari McLuhan yang kemudian akan dinilai sebagai suatu futuristic dikemukakan oleh McLuhan adalah ketika ia mengomentari tentang medium film: “The message of the movie medium is that of transition from lineal connections to configurations.”
Dalam soal teknologi sebagai perluasan manusia, sudah pernah disinggung McLuhan dalam buku Gutenberg Galaxy, dimana McLuhan menyebut roda sebagai perluasan diri dari roda. Sebelum manusia menemukan roda, manusia menggunakan binatang seperti kuda, untuk perpanjangan kakinya untuk melakukan perjalanan. Namun ketika roda menggantikan kaki binantang, maka asosiasi manusia diputus dari struktur organis yang dia akrabi. Roda di sini tetap menjadi perluasan manusia, karena dengan roda berada di luar tubuh manusia, ia tetap menjadi pengganti kaki untuk mengatasi jarak ataupun mengatasi beban yang harus dibawa manusia. (van Eymeren 2014: 58)
McLuhan juga menyinggung peran dari listrik yang awalnya kita mengira bahwa listrik bukanlah media, karena tak ada konten di dalamnya. Namun kita akan terpana ketika kita menyalakan listrik dan untuk iklan billboard yang ada di pinggir jalan, listrik akan menghasilkan pesan yang akhirnya kita bisa baca. Di sini McLuhan mengatakan bahwa listrik adalah media komunikasi juga, tetapi peran dan karakternya menjadi suatu cara pandang baru. Dalam cara pandang baru ini, media adalah pesan. (van Eymeren 2014: 46)
Sekarang kita beralih dulu pada bacaan berikutnya, yaitu karya Jim McGuigan, Modernity and Postmodern culture (2006). McGuigan menyebutkan ada berbagai macam pengertian postmodernisme, mulai dari mereka yang melihat postmodernisme ini sebagai ide dan subyektivitas, ada juga yang melihat postmodernisme sebagai idealism filosofis dan reduksi budaya – sebagai lawan dari reduksi ekonomi (p. 2). McGuigan sendiri menyatakan dirinya lebih dekat dengan pendapat Krishan Kumar yang walaupun skeptic dengan klaim-klaim yang diajukan oleh para penganut postmodernisme, namun percaya bahwa ada kebenaran di dalamnya, dan juga ada tanda penting yang merepresentasikan waktu tersebut (p.3).
Oleh karena itu McGuigan menyebutkan postmodernisme sebagai “ide filosofis, yang diambil dari toeri-teori poststrukturalis, dan formasi budaya, yang utamanya terkait dengan kebudayaan populer global”. Lebih jauh McGuigan mengatakan bahwa ia percaya bahwa peradaban modern saat ini ia nilai sebagai peradaban kapitalis, dan sejauh ini kapitalisme tak menyurut, maka ia tak percaya klaim dari postmodernisme yang menganggap bahwa kita saat ini hidup dalam masa transisi dari periode modernism menuju ke postmodernisme dalam sejarah peradaban manusia (p.3).
Dalam bukunya, McGuigan hendak menggambarkan kompleksitas yang terjadi antara dunia modern dan dunia postmodern. Diskusi tentang postmodernisme ini sendiri menghilang dalam beberapa tahun belakangan ini, dan menurut McGuigan ini tak lebih karena postmodernisme dilihat tak lebih dari sekedar trend sesaat saja. Klaim pergeseran masyarakat dari modern ke postmodern menurut McGuigan tak meyakinkan. Lebih meyakinkan apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens sebagai “accentuated modernity”, atau yang juga dimaksud sebagai “globalisasi dari dinamika transformative modernitas” (p.4), atau Frederic Jameson menyebutnya sebagai “the cultural logic of late capitalism” (p.6).
Sementara itu Dominic Srinati menyebutkan lima karakter dari budaya postmodern (p.6):
- Tidak ada lagi pembedaan antara budaya dan masyarakat
- Penekanan pada style / gaya di atas soal substansi ataupun konten
- Tidak ada lagi pembedaan antara budaya tinggi (high culture) dengan budaya rendah (low culture)
- Kebingungan soal tempat dan waktu
- Merosotnya yang disebut sebagai “meta narratives” (narasi-narasi besar)
Masa yang disebut sebagai postmodernisme ditandai dengan adanya tulisan dari Francois Lyotard pada tahun 1979, The Postmodern Condition, yang menggambarkan kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam masyarakat, namun di sisi lain juga ditunjukkan kemunduran yang terjadi, terutama dengan pemikiran Marxisme yang dianggap tidak lagi kredibel, digantikan dengan kemajuan-kemajuan budaya – dalam pengertian estetis (p.10)
Sejak saat itu lalu postmodernisme berkembang sebagai suatu pemikiran yang tidak semata dalam dunia estetis (dalam arti budaya pertunjukan seperti lukisan, arsitektur) tetapi juga berkembang dalam dunia sastra, pemikiran ilmu social, bahkan sejumlah orang yang disebut sebagai pemikir postmodernisme, antara lain misalnya adalah Jean Paul Baudrillard. Bahkan dalam ilmu social pun, postmodernisme memiliki jejaknya, sebagaimana yang dibahas oleh Rosenau (1992) misalnya.
Postmodernisme sendiri merupakan pendekatan atau pemikiran yang menolak adanya narasi tunggal dalam melihat berbagai masalah yang ada dalam berbagai ranah ilmu. Penolakan ini menandai bahwa tidak ada “yang paling benar” dalam khasanah ilmu manapun, dan sebaliknya terbuka kemungkinan untuk adanya “narasi-narasi tandingan” yang juga bisa mewarnai khasanah ilmu tersebut. Misalnya tak ada konsep “kebenaran” atau “yang paling artistic” jika kita melihat khasanah seni, dan sebaliknya karya-karya seni dari seniman manapun memiliki narasi masing-masing yang tak perlu diperdebatkan, siapa yang lebih estetis, siapa yang lebih canggih pencapaiannya, dan lain-lain.
Sekilas kita mendengar ini mirip dengan ada yang menjadi pandangan dari cultural studies yang tidak mau mendikotomikan antara yang disebut sebagai budaya tinggi atau budaya rendah. Budaya tinggi di sini misalnya merujuk pada pertunjukan opera, balet, music klasik dan lain-lain, dan sebaliknya budaya rendah di sini merujuk misalnya pada music populer, apakah itu rock, pop, rap, dan lain sebagainya. Namun dalam pandangan cultural studies hal ini ditolak, sebagaimana postmodernisme juga menolak hal ini – jika merujuk pada pemikiran Dominic Srinati di atas.
Buku Jim McGuigan sendiri mencoba untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran kebudayaan yang terkait dengan pandangan modernism dan postmodernisme. Berbagai teori dipertimbangkan, diulas dan kemudian diperbandingkan dengan teori lainnya, namun pada akhirnya McGuigan sendiri berkesimpulan bahwa: pandangan Frederic Jameson (1984) yang menyebut postmodernisme sebagai logika kultural dari kapitalisme akhir, memberikan masukan yang lebih masuk akal ketimbang dengan apa yang telah ditulis oleh Jean-Francois Lyotard dengan tesisnya yang tidak kokoh (p.170).
Apakah kondisi ini membuat kita jadi lebih pesimis ke depannya? McGuigan mengutarakan pandangannya dalam melihat kondisi saat ini:
“We live in a world of globalizing capitalism, of environtmental risk and great uncertainty. Yet there is considerable hope in the sheer fluidity of culture and identity, of the breaking down of old barriers and the opening up of new networks of possibility. In this kind of context, different modes of reasoning perform different functions. Instrumental reason is useful but blind. Ironic reason is fun but irresponsible. Critical reason is vital.” (p. 171)
Lalu apa yang bisa menjembatani antara dua literature di atas, baik dari karya Marshal McLuhan, dengan karya Jim McGuigan tersebut? Secara mudah dapat dikatakan karya McLuhan menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa awal modernism, yang ditandai dengan penemuan media-media baru (pada saat itu adalah televisi), bagaimana ia menggeser peran dari media cetak yang selama ini dominan. Kemudian dari karya McGuigan kita disodorkan pada kondisi atas postmodernisme yang sebenarnya mungkin tak lebih dari trend sesaat, walaupun ada narasi yang juga penting disebut di sini, terkait dengan hancurnya meta-narrative, dan munculnya little-narratives yang tersebar di mana-mana.
Penghubung lain yang bisa diangkat di sini adalah melihat atau membandingkan antara apa yang telah ditulis Marshal McLuhan di atas, dengan apa yang dikemukakan oleh Jean Paul Baudrillard, yang dianggap sebagai salah satu corong dari pemikiran postmodernisme. Douglas Kellner, gurubesar dari University of California, Los Angeles, menulis paper yang membandingkan peran McLuhan dan Baudrillard dalam konteks antara modernisme dan postmodernisme.
Menurut Kellner (ny: 1) baik McLuhan dan Baudrillard keduanya menyampaikan pemikiran yang provokatif terkait dengan peran media dan teknologi baru dalam dunia kontemporer ini. Keduanya menyampaikan pemikiran yang penting dan berpengaruh dimana dikatakan media adalah institusi yang powerful, dan merupakan kekuatan social yang otonom yang telah menghasilkan banyak sekali efek.
Kaitan antara McLuhan dengan pandangan modernism dipertegas Kellner dengan pernyataan demikian: McLuhan dapat dibaca sebagai bagian dari teori social klasik dimana ia menjadi teoritisi utama dari modernitas, dengan analisis yang original dan tajam tentang asal muasal, kondisi dan perjalan dari dunia modern. Lebih jauh dapat juga dikatakan bahwa McLuhan adalah salah seorang pembuat teori yang antisipatif dari kemunculan postmodernisme, meninggalkan era media cetak dan masuk ke masyarakat baru postmodern dengan bentuk baru kebudayaan dan masyarakat (p.1).
Dalam analisa Kellner (p.3), McLuhan menyebutkan bahwa era modern ditandai dengan adanya “ledakan / explosion” teknologi, kota-kota, Negara dan juga kerajaan, bentuk budaya, spesialisasi, bentuk transportasi dan komunikasi, dan juga media. Dalam pandangan McLuhan, kemunculan media baru bukanlah tambahan, supplement pada media sebelumnya ataupun bentuk budaya sebelumnya, tetapi menjadi sesuatu kekuatan ledakan yang berkompetisi dengan media lainnya. Di sini menurut Kellner McLuhan menawarkan pemikiran yang brilian tentang peran media dalam modernitas dan bagaimana media berfungsi sebagai konstituen utama dari budaya dan masyarakat, dan mungkin juga menunjukkan ketidaksetujuan McLuhan dengan era modernism dan menjadi tanda kemunculan era postmodernisme. McLuhan dalam bukunya yang terkenal Understanding Media menuliskan demikian:
“After three thousand years of explosion, by means of fragmentary and mechanical technologies, the Western world is imploding. During the mechanical ages we had extend our bodies in space. Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned. Rapidly, we approach the final phase of the extensions of man – the technological simulation of consciousness, when the creative process of knowing will be collectively and corporately extended to the whole of human society, much as we have already extend our senses and our nerves by the various media (McLuhan 1994: p.3-4)
Baudrillard, walaupun sering disebut dengan McLuhan-nya masa kini, punya sejumlah kritik pada pemikiran McLuhan, terutama ketika ia menyebut McLuhan sebagai orang yang “technological reductionist and determinist”. Baudrillard pun sangat kritis dalam melihat perkembangan kemunculan media pada era modernism, terutama dengan kemunculan televisi di tahun 1960an tersebut. Buat Baudrillard kemunculan televisi itu adalah konstituen penting dari era postmodernisme, yang juga menandai perluasan tanda dan simulacra secara cepat dalam realitas social dan kehidupan sehari-hari kita (p.7). Pada akhir tahun 1970an, Baudrillard menyebut media sebagai mesin simulasi utama yang mereproduksi imaji, tanda, kode, dan telah menghasilkan realisme hipereality yang otonom, yang memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan penghancuran kehidupan social.
Simulasi untuk Baudrillard merujuk pada situasi dimana kode, model, dan tanda adalah bentuk-bentuk terorganisir dari tata kelola baru dimana simulasi berkuasa. Dalam masyarakat simulasi, identitas dikonstruksi oleh imaji yang dipergunakan, kemudian kode dan model menentukan bagaimana individu menerima mereka dan berhubungan dengan orang lain. Ekonomi, politik, kehidupan social, dan kebudayaan, semuanya dikuasai oleh simulasi, dimana kode dan model menentukan bagaimana suatu barang dikonsumsi, dan hidup dijalani (p.7).
Menurut Kellner, Baudrillard mengikuti jejak McLuhan dalam membuat “ledakan” menjadi konstituen kunci dari masyarakat postmodern, dimana kelas social, gender, perbedaan politik, dan realisme otonom masyarakat dan budaya saling melebur, menghapus batas-batas dan perbedaan-perbedaan yang dibuat sebelumnya. Baudrillard pun menyebutkan adanya tiga tingkat simulakra (Lane 2000: 30):
- Tingkat pertama simulasi: adanya kopi yang sama persis dari realitas – misalnya seorang pelukis yang melukis pemandangan atau cakrawala, ia berupaya membuat lukisan yang semirip-miripnya dengan apa yang ia lihat
- Tingkat kedua simulasi: kopi yang dibuat itu sedemikian rupa bagusnya, sehingga mengaburkan batas antara mana yang asli dan mana yang kopi, atau representasinya.
- Tingkat ketiga simulasi: suatu realitas yang terbentuk dan berdiri sendiri, dan taka da kaitannya dengan realitas fisik / nyata di dunia. Contohnya adalah ‘virtual reality’ dimana dunia dioperasikan lewat bahasa computer, dan ini dihasilkan dari algoritma atau model matematika yang abstrak. Simulasi tingkat ketiga inilah yang disebut sebagai hyperreal.
Di sini menurut Kellner, tiga tahap simulacra terkait dengan tahapan masyarakat yang dikemukakan oleh McLuhan, yaitu:
– pre-modern society, dimana kata-kata berhubungan dengan benda da nada harmoni alami antara individu, budaya dan dunia
– modern society and the production of a society, dimana terjadi lonjakan produksi, imaji, ide, kemudian berekspansi secara global, menghasilkan konflik ide dan budaya dengan debat soal hubungan antara konsep dan dunia, teori dan realitas
– global system – sifatnya fungsional dan operasional, dengan computer yang hiperreal dan system media yang membentuk simulasi yang membentuk model untuk kehidupan sehari-hari dan mengambil energy, kekuasaan dan control.
Walau pandangan Baudrillard terhadap media demikian negative, namun ia juga menggunakan kalimat McLuhan dalam ulasannya:
“The medium is the message signifies not only the end of the message, but also the end of the medium. There are no longer media in the literal sense of the term (I am talking above all about the electronic mass media) – that is to say, a power mediating between one reality and another, between one state of the real and another – neither in content nor in form. Strictly speaking this is what implosion signifies: the absorption of one pole into another, the short-circuit between poles of every differential system of meaning, the effacement of terms and of distinct oppositions, and thus that of the medium and the real …. It is useless to dream of a revolution through content or through form, since the medium and the real are now in a single nebulous state whose truth is undecipherable.” (Baudrillard 1978: 102-103)
Pertanyaan Penelitian:
*) Bagaimana tahapan simulasi terjadi di Kompas dan Tempo dalam proses menuju digitalisasi ini ?
Sumber Rujukan Lain:
Douglas Kellner, “Reflections on Modernity and Postmodernity in McLuhan and Baudrillard” (www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/) – diambil dari artikel “Ressurecting McLuhan? Jean Baudrillard and the Academy of Postmodernism”, in Marc Raboy & Peter A Bruck (eds.) Communication for and against Democracy, Montreal/New York: Black Rose Books, 1989; dan buku Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxism to Postmodernism and Beyond, Cambridge, UK & Palo Alto: Stanford University Press & Polity Press, 1989.
Jean Paul Baudrillard, In the Shadows of the Silent Majorities, New York: Semiotext(e)
Margawati van Eymeren, Media Komunikasi dan Dampaknya terhadap Kebudayaan: Analisis Atas Pandangan Herbert Marshall McLuhan, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2014.
Pauline Marie Rosenau, Post-modernism and the Social Sciences: Insights, Inroads, and Intrusions, Princeton: Princeton University Press, 1992.