Archive for November, 2019

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 28, 2019

Topik: “Teori Modernitas dan Postmodernitas”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 26 November 2019)

 

Sumber Bacaan:

  1. Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology Press, 1994 (seventh printing 1998)
  2. Jim McGuigan, Modernity and Postmodern Culture, Berkshire: Open University Press, 2006

 

Marshall McLuhan adalah salah seorang teoritisi media awal yang telah menuliskan pandangan-pandangannya antara tahun 1960-1970an. Ia dikenal dengan buku-bukunya seperti Guttenberg Galaxy, Understanding Media: Extensions of Man, Medium is the Message. McLuhan dapat dikatakan sebagai teoritisi media yang menandai masa modern dengan kemunculan televisi yang perlahan-lahan menggantikan posisi dari media cetak yang telah lebih dulu ada.

Dengan mengatakan “medium is the message”, McLuhan mengatakan bahwa ada konsekuensi personal dan social dari kedatangan / kemunculan suatu medium, dan hal ini merupakan perluasan / perpanjangan / kepanjangan dari diri manusia. Otomatisasi yang banyak muncul pada tahun-tahun tersebut memberi dampak positif dan negative bagi kehidupan manusia: yang negative adalah otomatisasi membuat manusia kehilangan pekerjaan, tetapi sebaliknya otomatisasi memberikan peran bagi manusia dalam keterlibatan yang lebih jauh dalam pekerjaannya, dan hubungan antar manusia yang ada di dalamnya. (p. 7)

Medium is the message juga berarti medium-lah yang menggeser dan mengontrol skala dan bentuk perkumpulan manusia dan aksinya. McLuhan di sini melihat bahwa studi tentang media tak Cuma menekankan masalah “content” tapi juga pada “medium” dan juga “cultural matrix” dimana medium tersebut beroperasi (p. 11). Mc Luhan juga menekankan di sini bahwa produk dari ilmu pengetahuan modern adalah netral: tidak baik ataupun tidak buruk, tergantung dengan bagaimana ia diperlakukan atau dipergunakan, yang akan menentukan nilainya. (p. 11)

Pernyataan lain dari McLuhan yang kemudian akan dinilai sebagai suatu futuristic dikemukakan oleh McLuhan adalah ketika ia mengomentari tentang medium film: “The message of the movie medium is that of transition from lineal connections to configurations.”

Dalam soal teknologi sebagai perluasan manusia, sudah pernah disinggung McLuhan dalam buku Gutenberg Galaxy, dimana McLuhan menyebut roda sebagai perluasan diri dari roda. Sebelum manusia menemukan roda, manusia menggunakan binatang seperti kuda, untuk perpanjangan kakinya untuk melakukan perjalanan. Namun ketika roda menggantikan kaki binantang, maka asosiasi manusia diputus dari struktur organis yang dia akrabi. Roda di sini tetap menjadi perluasan manusia, karena dengan roda berada di luar tubuh manusia, ia tetap menjadi pengganti kaki untuk mengatasi jarak ataupun mengatasi beban yang harus dibawa manusia. (van Eymeren 2014: 58)

McLuhan juga menyinggung peran dari listrik yang awalnya kita mengira bahwa listrik bukanlah media, karena tak ada konten di dalamnya. Namun kita akan terpana ketika kita menyalakan listrik dan untuk iklan billboard yang ada di pinggir jalan, listrik akan menghasilkan pesan yang akhirnya kita bisa baca. Di sini McLuhan mengatakan bahwa listrik adalah media komunikasi juga, tetapi peran dan karakternya menjadi suatu cara pandang baru. Dalam cara pandang baru ini, media adalah pesan. (van Eymeren 2014: 46)

Sekarang kita beralih dulu pada bacaan berikutnya, yaitu karya Jim McGuigan, Modernity and Postmodern culture (2006). McGuigan menyebutkan ada berbagai macam pengertian postmodernisme, mulai dari mereka yang melihat postmodernisme ini sebagai ide dan subyektivitas, ada juga yang melihat postmodernisme sebagai idealism filosofis dan reduksi budaya – sebagai lawan dari reduksi ekonomi (p. 2). McGuigan sendiri menyatakan dirinya lebih dekat dengan pendapat Krishan Kumar yang walaupun skeptic dengan klaim-klaim yang diajukan oleh para penganut postmodernisme, namun percaya bahwa ada kebenaran di dalamnya, dan juga ada tanda penting yang merepresentasikan waktu tersebut (p.3).

Oleh karena itu McGuigan menyebutkan postmodernisme sebagai “ide filosofis, yang diambil dari toeri-teori poststrukturalis, dan formasi budaya, yang utamanya terkait dengan kebudayaan populer global”. Lebih jauh McGuigan mengatakan bahwa ia percaya bahwa peradaban modern saat ini ia nilai sebagai peradaban kapitalis, dan sejauh ini kapitalisme tak menyurut, maka ia tak percaya klaim dari postmodernisme yang menganggap bahwa kita saat ini hidup dalam masa transisi dari periode modernism menuju ke postmodernisme dalam sejarah peradaban manusia (p.3).

Dalam bukunya, McGuigan hendak menggambarkan kompleksitas yang terjadi antara dunia modern dan dunia postmodern. Diskusi tentang postmodernisme ini sendiri menghilang dalam beberapa tahun belakangan ini, dan menurut McGuigan ini tak lebih karena postmodernisme dilihat tak lebih dari sekedar trend sesaat saja. Klaim pergeseran masyarakat dari modern ke postmodern menurut McGuigan tak meyakinkan. Lebih meyakinkan apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens sebagai “accentuated modernity”, atau yang juga dimaksud sebagai “globalisasi dari dinamika transformative modernitas” (p.4), atau Frederic Jameson menyebutnya sebagai “the cultural logic of late capitalism” (p.6).

Sementara itu Dominic Srinati menyebutkan lima karakter dari budaya postmodern (p.6):

  1. Tidak ada lagi pembedaan antara budaya dan masyarakat
  2. Penekanan pada style / gaya di atas soal substansi ataupun konten
  3. Tidak ada lagi pembedaan antara budaya tinggi (high culture) dengan budaya rendah (low culture)
  4. Kebingungan soal tempat dan waktu
  5. Merosotnya yang disebut sebagai “meta narratives” (narasi-narasi besar)

 

Masa yang disebut sebagai postmodernisme ditandai dengan adanya tulisan dari Francois Lyotard pada tahun 1979, The Postmodern Condition, yang menggambarkan kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam masyarakat, namun di sisi lain juga ditunjukkan kemunduran yang terjadi, terutama dengan pemikiran Marxisme yang dianggap tidak lagi kredibel, digantikan dengan kemajuan-kemajuan budaya – dalam pengertian estetis (p.10)

Sejak saat itu lalu postmodernisme berkembang sebagai suatu pemikiran yang tidak semata dalam dunia estetis (dalam arti budaya pertunjukan seperti lukisan, arsitektur) tetapi juga berkembang dalam dunia sastra, pemikiran ilmu social, bahkan sejumlah orang yang disebut sebagai pemikir postmodernisme, antara lain misalnya adalah Jean Paul Baudrillard. Bahkan dalam ilmu social pun, postmodernisme memiliki jejaknya, sebagaimana yang dibahas oleh Rosenau (1992) misalnya.

Postmodernisme sendiri merupakan pendekatan atau pemikiran yang menolak adanya narasi tunggal dalam melihat berbagai masalah yang ada dalam berbagai ranah ilmu. Penolakan ini menandai bahwa tidak ada “yang paling benar” dalam khasanah ilmu manapun, dan sebaliknya terbuka kemungkinan untuk adanya “narasi-narasi tandingan” yang juga bisa mewarnai khasanah ilmu tersebut. Misalnya tak ada konsep “kebenaran” atau “yang paling artistic” jika kita melihat khasanah seni, dan sebaliknya karya-karya seni dari seniman manapun memiliki narasi masing-masing yang tak perlu diperdebatkan, siapa yang lebih estetis, siapa yang lebih canggih pencapaiannya, dan lain-lain.

Sekilas kita mendengar ini mirip dengan ada yang menjadi pandangan dari cultural studies yang tidak mau mendikotomikan antara yang disebut sebagai budaya tinggi atau budaya rendah. Budaya tinggi di sini misalnya merujuk pada pertunjukan opera, balet, music klasik dan lain-lain, dan sebaliknya budaya rendah di sini merujuk misalnya pada music populer, apakah itu rock, pop, rap, dan lain sebagainya. Namun dalam pandangan cultural studies hal ini ditolak, sebagaimana postmodernisme juga menolak hal ini – jika merujuk pada pemikiran Dominic Srinati di atas.

Buku Jim McGuigan sendiri mencoba untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran kebudayaan yang terkait dengan pandangan modernism dan postmodernisme. Berbagai teori dipertimbangkan, diulas dan kemudian diperbandingkan dengan teori lainnya, namun pada akhirnya McGuigan sendiri berkesimpulan bahwa: pandangan Frederic Jameson (1984) yang menyebut postmodernisme sebagai logika kultural dari kapitalisme akhir, memberikan masukan yang lebih masuk akal ketimbang dengan apa yang telah ditulis oleh Jean-Francois Lyotard dengan tesisnya yang tidak kokoh (p.170).

Apakah kondisi ini membuat kita jadi lebih pesimis ke depannya? McGuigan mengutarakan pandangannya dalam melihat kondisi saat ini:

“We live in a world of globalizing capitalism, of environtmental risk and great uncertainty. Yet there is considerable hope in the sheer fluidity of culture and identity, of the breaking down of old barriers and the opening up of new networks of possibility. In this kind of context, different modes of reasoning perform different functions. Instrumental reason is useful but blind. Ironic reason is fun but irresponsible. Critical reason is vital.” (p. 171)

Lalu apa yang bisa menjembatani antara dua literature di atas, baik dari karya Marshal McLuhan, dengan karya Jim McGuigan tersebut? Secara mudah dapat dikatakan karya McLuhan menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa awal modernism, yang ditandai dengan penemuan media-media baru (pada saat itu adalah televisi), bagaimana ia menggeser peran dari media cetak yang selama ini dominan. Kemudian dari karya McGuigan kita disodorkan pada kondisi atas postmodernisme yang sebenarnya mungkin tak lebih dari trend sesaat, walaupun ada narasi yang juga penting disebut di sini, terkait dengan hancurnya meta-narrative, dan munculnya little-narratives yang tersebar di mana-mana.

Penghubung lain yang bisa diangkat di sini adalah melihat atau membandingkan antara apa yang telah ditulis Marshal McLuhan di atas, dengan apa yang dikemukakan oleh Jean Paul Baudrillard, yang dianggap sebagai salah satu corong dari pemikiran postmodernisme. Douglas Kellner, gurubesar dari University of California, Los Angeles, menulis paper yang membandingkan peran McLuhan dan Baudrillard dalam konteks antara modernisme dan postmodernisme.

Menurut Kellner (ny: 1) baik McLuhan dan Baudrillard keduanya menyampaikan pemikiran yang provokatif terkait dengan peran media dan teknologi baru dalam dunia kontemporer ini. Keduanya menyampaikan pemikiran yang penting dan berpengaruh dimana dikatakan media adalah institusi yang powerful, dan merupakan kekuatan social yang otonom yang telah menghasilkan banyak sekali efek.

Kaitan antara McLuhan dengan pandangan modernism dipertegas Kellner dengan pernyataan demikian: McLuhan dapat dibaca sebagai bagian dari teori social klasik dimana ia menjadi teoritisi utama dari modernitas, dengan analisis yang original dan tajam tentang asal muasal, kondisi dan perjalan dari dunia modern. Lebih jauh dapat juga dikatakan bahwa McLuhan adalah salah seorang pembuat teori yang antisipatif dari kemunculan postmodernisme, meninggalkan era media cetak dan masuk ke masyarakat baru postmodern dengan bentuk baru kebudayaan dan masyarakat (p.1).

Dalam analisa Kellner (p.3), McLuhan menyebutkan bahwa era modern ditandai dengan adanya “ledakan / explosion” teknologi, kota-kota, Negara dan juga kerajaan, bentuk budaya, spesialisasi, bentuk transportasi dan komunikasi, dan juga media. Dalam pandangan McLuhan, kemunculan media baru bukanlah tambahan, supplement pada media sebelumnya ataupun bentuk budaya sebelumnya, tetapi menjadi sesuatu kekuatan ledakan yang berkompetisi dengan media lainnya. Di sini menurut Kellner McLuhan menawarkan pemikiran yang brilian tentang peran media dalam modernitas dan bagaimana media berfungsi sebagai konstituen utama dari budaya dan masyarakat, dan mungkin juga menunjukkan ketidaksetujuan McLuhan dengan era modernism dan menjadi tanda kemunculan era postmodernisme. McLuhan dalam bukunya yang terkenal Understanding Media menuliskan demikian:

“After three thousand years of explosion, by means of fragmentary and mechanical technologies, the Western world is imploding. During the mechanical ages we had extend our bodies in space. Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned. Rapidly, we approach the final phase of the extensions of man – the technological simulation of consciousness, when the creative process of knowing will be collectively and corporately extended to the whole of human society, much as we have already extend our senses and our nerves by the various media (McLuhan 1994: p.3-4)

Baudrillard, walaupun sering disebut dengan McLuhan-nya masa kini, punya sejumlah kritik pada pemikiran McLuhan, terutama ketika ia menyebut McLuhan sebagai orang yang “technological reductionist and determinist”. Baudrillard pun sangat kritis dalam melihat perkembangan kemunculan media pada era modernism, terutama dengan kemunculan televisi di tahun 1960an tersebut. Buat Baudrillard kemunculan televisi itu adalah konstituen penting dari era postmodernisme, yang juga menandai perluasan tanda dan simulacra secara cepat dalam realitas social dan kehidupan sehari-hari kita (p.7). Pada akhir tahun  1970an, Baudrillard menyebut media sebagai mesin simulasi utama yang mereproduksi imaji, tanda, kode, dan telah menghasilkan realisme hipereality yang otonom, yang memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan penghancuran kehidupan social.

Simulasi untuk Baudrillard merujuk pada situasi dimana kode, model, dan tanda adalah bentuk-bentuk terorganisir dari tata kelola baru dimana simulasi berkuasa. Dalam masyarakat simulasi, identitas dikonstruksi oleh imaji yang dipergunakan, kemudian kode dan model menentukan bagaimana individu menerima mereka dan berhubungan dengan orang lain. Ekonomi, politik, kehidupan social, dan kebudayaan, semuanya dikuasai oleh simulasi, dimana kode dan model menentukan bagaimana suatu barang dikonsumsi, dan hidup dijalani (p.7).

Menurut Kellner, Baudrillard mengikuti jejak McLuhan dalam membuat “ledakan” menjadi konstituen kunci dari masyarakat postmodern, dimana kelas social, gender, perbedaan politik, dan realisme otonom masyarakat dan budaya saling melebur, menghapus batas-batas dan perbedaan-perbedaan yang dibuat sebelumnya. Baudrillard pun menyebutkan adanya tiga tingkat simulakra (Lane 2000: 30):

  1. Tingkat pertama simulasi: adanya kopi yang sama persis dari realitas – misalnya seorang pelukis yang melukis pemandangan atau cakrawala, ia berupaya membuat lukisan yang semirip-miripnya dengan apa yang ia lihat
  2. Tingkat kedua simulasi: kopi yang dibuat itu sedemikian rupa bagusnya, sehingga mengaburkan batas antara mana yang asli dan mana yang kopi, atau representasinya.
  3. Tingkat ketiga simulasi: suatu realitas yang terbentuk dan berdiri sendiri, dan taka da kaitannya dengan realitas fisik / nyata di dunia. Contohnya adalah ‘virtual reality’ dimana dunia dioperasikan lewat bahasa computer, dan ini dihasilkan dari algoritma atau model matematika yang abstrak. Simulasi tingkat ketiga inilah yang disebut sebagai hyperreal.

 

Di sini menurut Kellner, tiga tahap simulacra terkait dengan tahapan masyarakat yang dikemukakan oleh McLuhan, yaitu:

– pre-modern society, dimana kata-kata berhubungan dengan benda da nada harmoni alami antara individu, budaya dan dunia

– modern society and the production of a society, dimana terjadi lonjakan produksi, imaji, ide, kemudian berekspansi secara global, menghasilkan konflik ide dan budaya dengan debat soal hubungan antara konsep dan dunia, teori dan realitas

– global system – sifatnya fungsional dan operasional, dengan computer yang hiperreal dan system media yang membentuk simulasi yang membentuk model untuk kehidupan sehari-hari dan mengambil energy, kekuasaan dan control.

 

Walau pandangan Baudrillard terhadap media demikian negative, namun ia juga menggunakan kalimat McLuhan dalam ulasannya:

“The medium is the message signifies not only the end of the message, but also the end of the medium. There are no longer media in the literal sense of the term (I am talking above all about the electronic mass media) – that is to say, a power mediating between one reality and another, between one state of the real and another – neither in content nor in form. Strictly speaking this is what implosion signifies: the absorption of one pole into another, the short-circuit between poles of every differential system of meaning, the effacement of terms and of distinct oppositions, and thus that of the medium and the real …. It is useless to dream of a revolution through content or through form, since the medium and the real are now in a single nebulous state whose truth is undecipherable.” (Baudrillard 1978: 102-103)

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Bagaimana tahapan simulasi terjadi di Kompas dan Tempo dalam proses menuju digitalisasi ini ?

 

Sumber Rujukan Lain:

Douglas Kellner, “Reflections on Modernity and Postmodernity in McLuhan and Baudrillard” (www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/) – diambil dari artikel “Ressurecting McLuhan? Jean Baudrillard and the Academy of Postmodernism”, in Marc Raboy & Peter A Bruck (eds.) Communication for and against Democracy, Montreal/New York: Black Rose Books, 1989; dan buku Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxism to Postmodernism and Beyond, Cambridge, UK & Palo Alto: Stanford University Press & Polity Press, 1989.

Jean Paul Baudrillard, In the Shadows of the Silent Majorities, New York: Semiotext(e)

Margawati van Eymeren, Media Komunikasi dan Dampaknya terhadap Kebudayaan: Analisis Atas Pandangan Herbert Marshall McLuhan, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2014.

Pauline Marie Rosenau, Post-modernism and the Social Sciences: Insights, Inroads, and Intrusions, Princeton: Princeton University Press, 1992.

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 18, 2019

Topik: “Teori Media, Hiperealitas, dan Masyarakat Informasi”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 19 November 2019)

Sumber Bacaan:

  1. Manuel Castells, The Rise of The Network Society, Vol 1: The Information Age: Economy, Society, and Culture (2nd), West Sussex: Willey-Blackwell, 2010
  2. Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1994.

Minggu ini ada dua bacaan terpisah yang datang dari dua nama besar dalam dunia sosiologi dan media yang kemudian menjadi teks penting dalam banyak kajian komunikasi dan media kontemporer. Yang pertama adalah Manuel Castells, sosiolog asal Spanyol yang kemudian meniti karier ke sejumlah universitas di Amerika seperti di Universitas California, Berkeley, yang kedua adalah penulis Perancis yang dianggap menjadi salah satu pemikir penting era postmodernisme, Jean Baudrillard.

Kita mulai dari buku Manuel Castells, yang sebenarnya menulis trilogi (tiga buah buku dalam satu kesatuan judul) The Information Age: Economy, Society and Culture (buku pertama diberi sub judul The Rise of Network Society, buku kedua diberi sub judul The Power of Identity dan buku ketiga diberi judul End of Millenium). Edisi pertama buku ini terbit tahun 1996, dan edisi keduanya (yang dipergunakan dalam review ini) pada tahun 2010.

“Kita hidup di jaman yang membingungkan”, demikian Castells memulai pengantar untuk buku edisi dua ini. Membingungkan karena kategori intelektual yang kita pakai untuk mengerti lingkungan di sekitar kita telah mengalami banyak perubahan, dan dalam millennium baru yang kita hidupi perubahan terjadi di bidang social, teknologi, ekonomi dan budaya yang kemudian menghasilkan bentuk masyarakat yang baru, yaitu masyarakat berjaringan. Castells mengatakan bahwa perlunya ada suatu pemahaman baru ini setelah ia melihat pada decade pertama millennium ini telah terjadi banyak konflik dan krisis (p.xvii).

Yang dimaksud Castells sebagai masyarakat jaringan adalah hasil dari jaringan dari berbagai dimensi kunci dari organisasi sosial dan praktek social. Lebih dari itu sementara jaringan adalah bentuk lama dari organisasi yang dialami manusia, kemunculan teknologi jaringan digital – sebagai karakter utama dari Era Informasi – memperkuat jaringan sosial dan jaringan organisasi yang memungkinkan ekspansi yang tak putus-putus, dan juga rekonfigurasi, melampaui batasan tradisional dari bentuk jaringan dari organisasi untuk mengatasi kompleksitas dari jaringan dengan ukuran tertentu.

Castells juga melihat bahwa gerakan social yang ada, dan juga strategi geopolitik ikut menjadi global yang kemudian menjadi sumber dari kekuatan global, sementara itu Castells juga melihat justru peran Negara-bangsa (nation state) perlahan-lahan kehilangan kapasitasnya untuk mengontrol dan mengatur arus global kekayaan dan informasi ini. Di sini Negara-bangsa jadi terlihat ironis karena Negara bangsa lah yang menjadi salah satu pendukung aktif dari perkembangan globalisasi ini pada saat mereka berpikir mereka akan bisa menguasai pasar bebas dan arus bebas capital dan teknologi untuk kepentingan mereka sendiri (p. xviii)

Dalam kata pengantar edisi kedua ini, Castells menyebutkan enam perkembangan kunci yang terjadi dalam decade pertama millennium ini yang nantinya akan berpengaruh pada perubahan masyarakat secara global:

  1. Krisis finansial global
  2. Kerja dan pekerjaan yang berubah
  3. Transformasi komunikasi
  4. Transformasi ruang dan waktu dalam pengalaman hidup manusia
  5. Manusia mengalami waktu dengan cara yang berbeda tergantung bagaimana mereka hidup secara terstruktur dan dipraktekkan
  6. Teori dan riset yang terkait dengan masyarakat jaringan

 

Kemunculan jaringan internet, kemudian software yang terbuka, membuat internet berekspansi dengan leluasa pada tahun 1990an. Walaupun sebenarnya internet adalah teknologi tua, karena ditemukan pada tahun 1969, dan baru dikembangkan 20 tahun kemudian. Castells mencatat bahwa pada tahun 1995 di seluruh dunia baru ada 40 juta orang pengguna internet, dan dalam 14 tahun kemudian jumlahnya naik hingga 1.5 milyar orang di dunia sebagai penggunanya (kenaikan 37,5 kali).

Selain internet, perkembangan yang juga tak kalah mengesankan adalah perkembangan teknologi wireless yang menurut hitungan Castells pada bulan Juli 2008 jumlahnya sudah mencapai 3.4 milyar pelanggan di seluruh dunia. Angka ini adalah 52 persen dari total penduduk di dunia (p. xxv).

Apa dampak dari ini semua? Internet, world wide web dan komunikasi wireless bukanlah media dalam arti tradisional, namun kehadiran ketiganya membuat batas-batas antara media komunikasi massa dan bentuk-bentuk lain komunikasi menjadi kabur. Hari ini, internet menjadi sesuatu yang tak dapat dipisahkan dari hidup manusia, karena lewat internet manusia mencari informasi, hiburan, layanan public, politik, bahkan agama (p. xxvi). Castells pun menyebut istilah “mass-self communication” merujuk pada sejumlah situs berbagi seperti Youtube. Ia disebut sebagai mass communication karena potensinya untuk menjangkau banyak khalayak lewat hubungan person to person (p2p) dan berkat adanya internet (p.xxix). untuk itu Castells pun menyodorkan hipotesisnya bahwa sebuah budaya baru telah terbentuk, yaitu the culture of real virtuality, dimana jaringan digital dari komunikasi multimodal telah menjadi inklusif untuk semua ekspresi kebudayaan dan pengalaman personal sehingga mereka telah membuat sesuatu yang virtual menjadi dimensi fundamental dari realitas kita (p. xxxi).

Pada titik inilah lalu kita jadi akan teringat dengan konsep simulasi-simulakra dan hiperrealitas dari Jean Baudrillard. Baudrillard sendiri adalah seorang pemikir Perancis yang lahir tahun 1929. Awalnya ia mengajar sosiologi di sekolah menengah sebelum kemudian ia menerbitkan tesisnya berjudul The System of Objects (asli berbahasa Perancis terbitan tahun 1966), dan kemudian menerbitkan buku lainnya Simulations (terbit dalam bahasa Perancis tahun 1981).

Baudrillard mengatakan ada tiga tingkat simulasi (Lane 2000: 30):

  1. Tingkat pertama simulasi: adanya kopi yang sama persis dari realitas – misalnya seorang pelukis yang melukis pemandangan atau cakrawala, ia berupaya membuat lukisan yang semirip-miripnya dengan apa yang ia lihat
  2. Tingkat kedua simulasi: kopi yang dibuat itu sedemikian rupa bagusnya, sehingga mengaburkan batas antara mana yang asli dan mana yang kopi, atau representasinya.
  3. Tingkat ketiga simulasi: suatu realitas yang terbentuk dan berdiri sendiri, dan taka da kaitannya dengan realitas fisik / nyata di dunia. Contohnya adalah ‘virtual reality’ dimana dunia dioperasikan lewat bahasa computer, dan ini dihasilkan dari algoritma atau model matematika yang abstrak. Simulasi tingkat ketiga inilah yang disebut sebagai hyperreal.

Dalam bagian awal buku Simulasi, dikutipkan kalimat dari Ecclesiastes “The simulacrum is never what hides the truth – it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true”.

Yang menarik Baudrillard untuk menunjukkan apa itu hiperrealitas menunjuk pada dua kasus: Disneyland dan kasus Watergate (p.12-15). Disneyland adalah taman bermain yang merujuk awalnya pada dunia karakter kartun yang diproduksi oleh Walt Disney, animator ulung, yang kemudian mendirikan perusahaan sendiri dan hingga hari ini menjadi produsen film-film animasi atau pun film anak-anak atau remaja lainnya. Disneyland adalah taman imajinasi dengan karakter-karakter ataupun tempat-tempat bermain yang akan memuaskan rasa kekanak-kanakan pengunjungnya.

Menurut Baudrillard, Disneyland adalah simulasi tingkat tiga yang ia kemukakan, dimana Disneyland hadir untuk menutupi apa yang disebut sebagai ‘real country’ atau ‘real America’. Disneyland hadir sebagai suatu imajinasi untuk membuat kita percaya bahwa Disneyland dengan segala isinya adalah real, sementara di luar Disneyland, baik itu kota Los Angeles, ataupun Negara Amerika tidaklah real (p. 12), atau juga bisa dilihat bahwa sifat kekanak-kanakan terfasilitasi dalam Disneyland, sementara yang rasional tak terfasilitasi di sana. Yang real adalah yang kekanak-kanakan itu. Di luar itu tidak ada.

Baudrillard membahas satu hal lagi dari khasanah sejarah Amerika, yaitu skandal Watergate pada tahun 1972 (p.xiv-xv). Watergate sendiri adalah skandal politik luar biasa dimana partai Republik menyadap kantor lawan politiknya, partai Demokrat, dan hal ini diketahui dari tertangkapnya lima orang di kantor partai Demokrat itu. Penyelidikan dua wartawan Washington Post, Carl Berstein dan Bob Woodward menunjukkan bahwa perintah penyadapan itu datang dari presiden AS asal Republik, yaitu Richard Nixon. Tak lama setelah ia terpilih kembali sebagai presiden AS, ia malah mundur ketika skandal penyandapan mencapai puncaknya, dan nama Nixon disebut sebagai actor intelektualnya.

Buat Baudrillard kasus Watergate ini juga sejenis hiperrealitas dimana Watergate menunjukkan bahwa dalam skandal ini fungsi Negara yang harusnya menjaga demokrasi, menjaga warganya, memiliki etika politik semuanya luruh, hancur, dan tergantikan dengan Negara yang curang, yang menjadi predator politik. Negara yang curang dan predator politik inilah simulasinya. Ia menggantikan ‘realitas’ bahwa Negara seharusnya demokrasi, memiliki etika politik, dan menjaga warganya.

 

Komentar

Dari paparan sosiologis yang ditunjukkan Castells kita diingatkan bahwa ke depan kita akan berhadapan dengan masyarakat dan perabadan yang memiliki ketergantungan tinggi dengan teknologi. Banyak hal-hal fisik akan tergantikan dengan hal-hal yang virtual (termasuk kejahatan, sebagaimana Castells pun menunjuk pada kota-kota yang menjadi jaringan criminal), sementara itu dari pemikiran Baudrillard kita pun diingatkan tentang simulasi atau hiperrealitas yang berkembang dalam masyarakat, sesuatu yang lebih nyata daripada kenyataan yang ada.

Memang Baudrillard seolah membolak-balik pemikiran ‘normal’ manusia untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang hiperrealitas. Peringatan Baudrillard ini penting untuk menghadapi dunia saat ini yang telah digambarkan Castells di atas, bahwa ke depan manusia akan banyak berhadapan dengan hiperrealitas (istilah Baudrillard) ini atau fenomena real-virtuality (bahasa Castells).

Perkembangan ini sangat relevan dengan apa yang hendak saya teliti, terutama melihat bagaimana perkembangan digitalisasi yang terjadi di dua newsroom: Kompas dan Tempo. Perkembangan jurnalisme digital secara umum di dunia sudah sampai pada penggunaan robot ataupun artificial intelligence. Banyak jurnalis yang khawatir dengan perkembangan ini karena mereka merasa posisi pekerjaan mereka ada dalam ancaman, sementara di sisi lain, media sendiri mempertimbangkan penggunaan robot ataupun AI sebagai inovasi baru dan upaya ekonomisasi (lihat juga Fan 2019). Namun pertanyaan dasarnya di sini: apakah memang pekerjaan jurnalis akan sepenuhnya tergantikan dengan AI atau robot ini, atau bagaimana cara jurnalis berstrategi dengan perkembangan baru ini? Apakah ini adalah kondisi terusan dari pertarungan antara manusia versus mesin, dalam dunia jurnalistik?

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Jenis teknologi apa saja yang dipergunakan dan dikembangkan oleh Tempo dan Kompas dalam evolusi jurnalisme digitalnya, dan apa teknologi yang tidak dipergunakan? Mengapa teknologi-teknologi tersebut yang dipergunakan, apa alasannya? Mengapa juga jenis teknologi tertentu tidak dikembangkan dan apa alasannya?

 

Sumber Rujukan Lain:

Fan, Shelly. (2019) Will AI Replace Us? A Primer for the 21st Century, London: Thames & Hudson.

Haryatmoko (2016) “Jean Baudrillard: Masyarakat Konsumeris: Manipulasi Tanda dan Hiperrealitas”, dalam Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, Yogyakarta: Kanisius, 2016

Lane, Richard J.(2000), Jean Baudrillard, New York & London: Routledge.

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 11, 2019

Topic: “Teori Media, dan Teori Feminisme”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 12 November 2019)

 

 

Sumber Bacaan:

  1. Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, New York: Routledge, 1999
  2. Judith Butler, Undoing Gender, New York: Routledge, 2004

 

Siapa itu Judith Butler?

Judith Butler adalah Maxine Elliot Professor dalam Rhetoric and Comparative Literature di University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Mungkin kita tak bisa langsung menyebut Butler sebagai seorang pemikir feminis, tetapi pertama kali dia adalah seorang filsuf. Beberapa karya dia sebelum akhirnya menulis Gender Trouble, dan Undoing Gender menunjukkan minat dia yang besar pada dunia filsafat, serta terutama ia tergila-gila dengan pemikir G.W.F. Hegel (1770-1831), filsuf Jerman yang terkenal dengan metode dialetikanya. Buku pertama Butler adalah buku yang mengulas bagaimana pengaruh pemikiran Hegel pada sejumlah tokoh pemikir Perancis abad 20 (Salih 2002: 1).

Sejumlah buku yang ditulis Butler sebelum Gender Trouble misalnya (Salih 2002: xiii) – daftar disusun menurut abjad judul bukunya:

  • Bodies that Matter (1993)
  • Contingent Foundations (1990/2)
  • Contigency, Hegemony, Universality (2000)
  • Changing the Subject (2000)
  • Excitable Speech (1997)
  • Foucault and the Paradox of Bodily Inscriptions (1989)
  • Gender as Performance (1994)
  • Gender Trouble – first edition (1990)
  • Gender Trouble – anniversary edition (1999)
  • The Nothing That is (1991)
  • The Psychic Life of Power (1997)
  • Revisiting Bodies and Pleasures (1987)
  • Subjects of Desire (1987 / 1999)
  • Sex and Gender in Simone de Beavoir’s Second Sex (1986)

Dari daftar buku di atas maka kita akan bisa melihat luasnya wawasan Butler mulai dari masalah psikoanalisa, feminism, dan teori post-struktural. Dua buku yang paling banyak disebut atau diulas adalah Gender Trouble (1990) dan Bodies That Matter (1993). Karya-karya Butler utamanya mempersoalkan masalah pembentukan identitas dan subyektivitas, mengurutkan proses bagaimana pada akhirnya kita bisa menjadi subyek ketika kita mengasumsikan identitas-identitas (seperti sex, gender, ras) dikonstruksikan bagi kita (terkadang kita sendiri yang melakukannya) di dalam struktur kekuasaan yang ada. Butler terlibat dalam interogasi (pemeriksaan) dari subyek dimana ia bertanya bagaimana proses subyek menjadi muncul, dengan alat apa, atau cara apa mereka muncul, dan juga bagaimana konstruksi itu bisa berjalan dan kapan konstruksi itu gagal. Subyek dari Butler itu bukanlah individu tetapi struktur bahasa (Salih 2002: 2).

Cara kerja Butler menggunakan metode yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Michel Foucault yaitu menggali masalah secara genealogi. Apa itu genealogi? Genealogi adalah suatu model pelacakan sejarah yang tidak mengklaim adanya “kebenaran” / truth, ataupun pengetahuan sebagai tujuannya. Menurut Butler sendiri genealogi yang ia lakukan ialah bukan suatu sejarah dari peristiwa-peristiwa, tetapi suatu pencarian pada kondisi dimana kemunculan (emergence) apa yang disebut sebagai sejarah, atau sebuah momen dimana kemunculan bukanlah sesuatu yang final dan dapat dibedakan dengan fabrikasi (Salih 2002: 10).

Salah satu konsep penting yang dikemukakan oleh Butler adalah yang disebut sebut sebagai “performativity”. Dikatakan oleh Salih (2002: 10) bahwa “Butler’s genealogical critique of the category of the subject dovetails with her notion that gendered and sexed identities are performative”. Di sini Butler mengembangkan konsep yang telah dikemukakan oleh Simone de Beauvoir, “seseorang itu tidak dilahirkan, tetapi melainkan, menjadi seorang perempuan”, dimana yang hendak ditekankan adalah “perempuan” itu bukanlah sesuatu yang ada begitu saja, atau tampil secara lahiriah, tetapi “perempuan” karena kita melakukannya (Salih 2002: 10).

Konsep performativity sendiri dibahas Butler secara khusus dalam bagian akhir buku Gender Trouble (1999: 171-180, Salih 2002: 62-64):

“In other words, acts, gestures, and desire produce the effect of an internal core or substance, but produce this on the surface of the body, through the play of signifying absences that suggest, but nevel reveal, the organizing principle of identity as a cause. Such acts, gestures, enactments, generally construed, are performative in the sense that the essence or identity that they otherwise purport to express are fabrications manufactured and sustained through corporeal signs and other discursive means.”  (Butler 1999: 173)

Lebih jauh Butler mengatakan, apa yang membuat gender itu dianggap sebagai sebuah aksi / tindakan (act)? Butler mengatakan bahwa gender dianggap sebagai aksi sebagai bagian dari drama ritual social dimana ia membutuhkan penampilan yang terus menerus diulang. Pengulangan dan pengalaman kembali itu adalah seperangkat makna yang telah tumbuh secara social (Butler 1999: 178).

Butler juga mengatakan bahwa gender tak bisa dilihat atau diinterpretasi sebagai identitas yang stabil atau ia menjadi lokasi dari agency yang melakukan sejumlah tindakan, tetapi sebaliknya gender adalah identitas yang jarang abadi, dan identitas terletak dalam ruang luar lewat suatu tindakan pengulangan yang formal (a stylized repetition of acts).

The effect of gender is produced through the stylization of the body and, hence, must be understood as the mundane way in which bodily gestures, movements, and styles of various kinds constitute the illusion of an abiding gendered self. This formulation moves the conception of gender off the ground of a substantial model of identity to one that requires a conception of gender as a constituted social temporality (Butler 1999:179).

 

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Dari konsep performativity ala Butler, bagaimana identitas Tempo dan Kompas yang berubah-ubah itu diinterpretasikan lewat hasil-hasil laporan utama mereka dalam situasi perubahan landscape media digital?

 

Sumber Rujukan Lain:

Sara Salih, Judith Butler, New York: Routledge, 2002.

 

 

Review Bacaan Seminar Perspektif dan Teori Media

November 4, 2019

Topic: “Teori Media, Interaksionisme dan Strukturasi”

Review Oleh Ignatius Haryanto

(untuk tanggal 5 November 2019)

 

 

Sumber Bacaan:

  1. Anthony Giddens, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press, 1984
  2. Herbert Blumer, “Society as Symbolic Interaction”, in Arnold M. Rose, Human Behavior and Social Processses: Symbolic Interactionist Approach, Houghton Mifflin Company, 1962, p. 179-192

 

Bacaan minggu ini ingin menunjukkan tarik menarik yang terjadi antara individu dan struktur yang ada dalam masyarakat, dan nantinya hal ini akan terkait juga dengan teori media; siapa yang bisa menghasilkan adanya perubahan dalam dunia media atau siapa yang bisa melakukan respon atas perubahan yang terjadi di tingkat industry media.

Teori yang pertama adalah dikemukakan oleh Herbert Blumer (1900-1987) yang melihat masyarakat sebagai suatu interaksi simbolis. Dari bacaan yang diberikan, kita melihat bahwa Blumer mengikuti banyak pandangan pemikir social sebelumnya, yaitu George Herbert Mead (1863-1931).

Beberapa konsep penting yang dikemukakan oleh Blumer adalah:

Manusia bukanlah sebuah organisme yang semata-mata bergerak dari pengaruh luar, tetapi ia merupakan “organisme yang sadar akan dirinya” . karena ia sadar dengan dirinya, maka ia bisa memandang dirinya sebagai obyek pikirannya atau berinteraksi dengan dirinya sendiri, sama seperti ketika dirinya bisa berinteraksi dengan orang lain. (p. 181)

Di sini tercakup  juga kegiatan dimana manusia menginterpretasi apa yang dilakukan orang lain. Mengutip pandangan Mead, Blumer mengatakan bahwa signfikansi menyebutkan tentang dirinya adalah suatu hal yang penting karena hal itu mengindikasikan sesuatu yang  ia bisa tarik dari setting yang ada, dan memberikan makna atau menjadikannya sebagai obyek. Implikasi lainnya adalah manusia membuat indikasi pada dirinya dimana tindakan dikonstruksikan atau direncanakan ketimbang dilepaskan begitu saja. Dengan begini, maka manusia akan memperhatikan apapun yang hendak ia lakukan. Ia harus memperhatikan apa yang hendak ia lakukan, bagaimana cara ia melakukan hal tersebut, dan juga mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu dimana ia akan melakukan tindakannya.  Inilah yang disebut sebagai proses penanda diri (self-indication). (p.182)

Self indication ini adalah proses komunikatif yang bergerak dimana manusia mencatat hal-hal penting,  memeriksanya, dan memberikan makna atas hal-hal tersebut, serta memutuskan apa yang akan dilakukan atas makna tersebut. Proses self-indication ini tidak bisa berada di bawah tekanan apapun yang datang baik dari dalam maupun dari luar yang akan mempengaruhi tingkah lakunya. Tekanan yang datang dari lingkungan sekitar, stimuli dari luar, dorongan organic, harapan, sikap, perasaan, ide dan sejenisnya tidak bisa menjelaskan soal self-indication ini.

Sebaliknya dengan self-indication ini manusia bisa mengatasi segala pengaruh pada dirinya, dan menempatkan dirinya di atas tekanan-tekanan tersebut, dan bahkan bisa berbuat sebaliknya dari tekanan yang ada. Inilah sebuah proses dimana seorang manusia mengolah atau memproses aksi yang ia sadari.

Konsep lain yang dikemukakan Blumer, masih dengan merujuk pada Mead, adalah konsep tentang konteks social. Dalam sebuah tindakan yang dilakukan oleh kelompok ada sejumlah individu yang melakukan aksi bersama-sama.  Setiap individu di sini melakukan tindakan yang sama dengan individu lainnya dengan menentukan apa yang hendak mereka lakukan dan apa tujuannya. Di sini posisi individu adalah dengan mengambil peran (taking role) ketika ia berada dalam kelompok. Ia akan melakukan tindakannya dengan mendasari pada interpretasi atas apa yang dilakukan oleh orang lain.

Menurut Mead:

“human society is made up of individuals who have selves; that individual actions is a construction and not a release, being built up by the individual through noting and interpreting features of the situations in which he acts; that group or collective action consists of the aligning of individual actions, brought about by the individuals’ interpreting or taking into account each other’s action.” (p.184)

(“Masyarakat manusia dibentuk dari sekumpulan individu yang memiliki dirinya; aksi individual itu adalah konstruksi dan bukan pelepasan, dibentuk oleh individu lewat pengamatan dan interpretasi situasi dimana ia akan bertindak; kelompok tersebtu atau aksi kolektif tadi terdiri dari aksi-aksi individual, yang dibawa dari interpretasi masing-masing individu atau dengan cara memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang lain”)

 

Blumer sendiri mengritik pandangan sejumlah sosiolog pendahulunya yang menaruh posisi individu dalam peranannya di masyarakat. Blumer mengatakan asumsi-asumsi yang menaruh posisi individu di bawah masyarakat tidak menghargai / menghormati aksi yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat, yang ia lakukan lewat proses interpretasi. Bertolak dari pandangan ini, Blumer hendak menekankan bahwa proses interpretasi sebagai bagian dari aksi yang dilakukan individu setelah ia menimbang banyak hal untuk kemudian menunjukkan sikapnya dalam masyarakat, dan sebaliknya ia menolak interpretasi sebagai motif yang mendahului tindakan.

Di sini Blumer menekankan perbedaan signifikan dari interaksionis simbolis. Menurutnya:

“Under the perspective of symbolic interaction, social action is lodged in acting individuals who fit their respective lines of action to one another through a process of interpretation; group action is the collective action of such individuals. As opposed to this view, sociological conceptions generally lodge social action in the action of society or in some unit of society.”  (p.186)

(“Di bawah perspektif interaksionisme simbolis, aksi social berada di bawah aksi-aksi individu yang menyesuaikan aksi mereka dengan orang lain lewat suatu proses interpretasi; aksi kelompok adalah aksi bersama dari sejumlah individu. Sebagai lawan dari pandangan ini, konsepsi sosiologi biasanya menaruh aksi social sebagai bagian dari aksi masyarakat atau sekelompok orang dalam masyarakat.”)

 

Sekarang kita akan beralih ke pandangan dari sosiolog lain yang juga penting disebut dalam sejarah pemikiran dunia, dan nantinya konsepnya juga akan berpengaruh pada pemikiran media atau komunikasi. Anthony Giddens adalah sosiolog Inggris, bekas rector London School of Economics, yang menjadi salah satu pembaharu dunia sosiologi dengan konsepnya soal strukturasi.

Sebelum masuk pada pandangannya soal strukturasi, kita perlu mengetahui dahulu apa yang menjadi latar belakang munculnya teori strukturasi ini, dan Giddens awalnya mengritik pandangan dualisme yang terjadi dalam banyak ilmu social, misalnya juga terkait dengan masalah individu atau struktur yang berperan dalam perubahan social. Dualisme juga bisa terjadi dalam situasi “subyektivisme vs obyektivitisme”, “voluntarisme vs determinisime”, dan lain-lain.

Menurut Giddens akar dualism itu adalah kerancuan dalam melihat obyek dalam ilmu social. Obyek utama ilmu social bukanlah soal peran social (social role), ataupun kode tersembunyi (hidden code) dalam pandangan Levi Strauss dengan strukturalismenya, tetapi justru titik temu antar kedua kutub yang sering diandaikan berseberangan itu: “praktik social yang berulang serta terpola dalam lintas waktu dan ruang”.

Giddens sangat keras menentang fungsionalisme dan kritik Giddens ini terumuskan sebagai berikut:

  • Fungsionalisme memberangus fakta bahwa kita anggota masyarakat bukan orang-orang dungu. Kita tahu apa yang ada di sekitar kita dan kita bertindak bukan seperti robot yang mengikuti “naskah” / peran yang telah ditentukan
  • Fungsionalisme merupakan cara berpikir yang mengklaim bahwa system social punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Giddens mengatakan bahwa system social tak punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Yang punya kebutuhan adalah kita para pelakunya.
  • Fungsionalisme membuang dimensi waktu (time) dan ruang (space) dalam menjelaskan gejala social. Akibatnya terjadi pertentangan antara static dan dinamik, stabilitas versus perubahan, yang merupakan bentuk dualisme sebagaimana telah dikritik sebelumnya. (Priyono 2002: 10)

 

Dua tema sentral yang menjadi pokok pemikiran Giddens adalah yang menyangkut hubungan antara struktur (structure) dan pelaku (agency), serta masalah sentralitas ruang (space) dan waktu (time). Untuk sementara ini hanya akan dijelaskan yang terkait dengan masalah hubungan antara struktur dan pelaku.

Menurut Giddens yang disebut pelaku adalah orang-orang yang konkrit dalam “arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia”, sementara itu struktur adalah “aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk pengulangan praktik social” (Priyono 2002: 19)

Di sini Giddens memasukkan ide soal “dualitas” antara struktur dan pelaku yang akan menjembatani dan melewati problem dualism yang telah ia kritik. Dualitas di sini merujuk pada hubungan antara struktur dan pelaku yang berproses “dimana struktur social merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik social”. Struktur sejajar dan analog dengan “langue” (yang mengatasi waktu dan ruang), sementara praktik social analog dengan “parole” (dalam waktu dan ruang) Dari prinsip dualitas inilah Giddens membangun teori strukturasinya. (Priyono 2002: 19)

Lebih jauh Giddens juga menyampaikan bahwa dalam diri individu atau pelaku ada proses refleksi yang ia lakukan bukan semata sebagai “kesadaran diri”, tetapi sebagai karakter yang dimonitor dari alur kehidupan social yang terus berjalan. Tindakan manusia di sini bukanlah semata kumpulan dari aksi-aksi manusia, tetapi aksi tersebut dihasilkan dari momen diskursif sebagai sesuatu yang terus berjalan lewat suatu pengalaman. Aksi ini pun tak bisa dipisahkan dari tubuh.

Giddens juga menyebut soal model stratifikasi dari diri yang berperan, dan di dalamnya memasukkan unsur monitor secar refleksif. Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku yang terdiri dari:

  • Motivasi tak sadar (unconscious motives) – menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri
  • Kesadaran praktis (practical consciousness) – gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai
  • Kesadaran diskursif (discursive consciousness) – kapasitas manusia untuk merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita (Giddens 1984: 6-7; Priyono 2002: 28-29)

Kesadaran praktis ini adalah wilayah kepribadian yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge), dan gugus pengetahuan ini juga merupakan “sumber aman ontologis”(ontological security). Kesadaran praktis inilah yang merupakan kunci untuk memahami bagaimana berbagai tindakan dan praktek social kita lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang dan memampukan tindakan / praktek social kita (Priyono 2002: 29)

 

Komentar

Dari bacaan Blumer dan Giddens ini kita bisa mempelajari bahwa di satu sisi Blumer menekankan pentingnya pelaku (actor) dalam suatu praktek social, dimana pelaku memiliki self-indication yang berguna untuk melakukan interpretasi baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Artinya Blumer di sini menekankan otonomi individu di atas struktur social untuk membuat ia bergerak atau berbuat seturut pertimbangannya. Sementara itu dari Giddens kita belajar tidak lagi untuk melakukan dualisme antara pelaku-struktur, namun menerima pemahaman bahwa yang terjadi adalah suatu dualitas dalam tubuh pelaku dan struktur dan itu menghasilkan strukturasi. Strukturasi yang dijabarkan sebagai “praktik social yang berulang serta terpola dalam lintas waktu dan ruang”.

 

 

Pertanyaan Penelitian:

*) Bagaimana menjelaskan proses strukturasi terjadi antara wartawan generasi lama di Kompas dan Tempo dalam proses digitalisasi di kedua newsroom berbeda tersebut? (data yang diharapkan adalah hasil wawancara dengan generasi wartawan lama – yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun di kompas ataupun tempo – bisa juga mereka yang sudah pensiun)

 

Sumber Rujukan Lain:

Priyono, B. Herry. (2002) Anthony Giddens Suatu Pengantar, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.